Sepakbola Usia Dini Di Papua Barat: Habis Ini Dibawa Kemana?
FDSInews – Kota Sorong, sebagaimana kota-kota lainnya di bumi Papua, menganggap sepakbola adalah kultur dan harga diri. Dan sebagaimana pula di belahan lain Nusantara, sepakbola adalah olahraga favorit. Sayangnya, kota Sorong (dan juga Kabupaten Sorong) tidak mempunyai klub sepakbola yang bisa mereka banggakan. Dulu, pernah ada klub Persis Sorong (Kabupaten Sorong) dan Persikos Sorong (Kota Sorong). Seiring perjalanan waktu, kedua klub asli Sorong ini pun hilang. Minimnya perhatian pemerintah, pengusaha dan juga PSSI terhadap perkembangan sepakbola di kota ini adalah sebab utama hilangnya dua klub sepakbola di Sorong ini. Alhasil, penduduk kota Sorong pun memalingkan perhatian dan kecintaan mereka pada klub milik tetangga sebelah, Persiram Raja Ampat.
Terkait pembinaan sepakbola usia dini, setahun yang lalu saya hanya mendapat informasi bahwa di kota Sorong ini hanya ada satu Sekolah Sepak Bola (SSB). Yang ada hanya klub-klub lokal yang dibentuk penduduk sekitar untuk sekedar memberi latihan dan memberi kegiatan sepakbola pada anak-anak muda. Siapa sangka satu tahun kemudian perkembangan sepakbola usia dini kota Sorong berkembang lumayan pesat. Hingga kunjungan saya kali ini, tercatat ada 5 SSB dan puluhan klub-klub sepakbola lokal. Sosok yang bisa dibilang berjasa terhadap perkembangan sepakbola di Sorong adalah Elvis Howay dan Valdo Tutulatunewa.
Elvis Howay adalah mantan pemain Persis Sorong sedangkan Valdo Tutulatunewa adalah salah satu pelatih dan pendiri pertama SSB di kota Sorong. Ikhtiar mereka terhadap sepakbola usia dini semata hanya ingin anak-anak kota Sorong mempunyai kegiatan yang berarti, bisa menyalurkan bakat dan hasrat mereka terhadap sepakbola dengan semestinya. Daripada sekedar menganggur, dan terjerat dalam pergaulan tidak sehat. Lewat andil Elvis Howay inilah kemudian banyak digelar berbagai event kejuaraan antar kelompok umur, mulai U-14 hingga usia bebas. Elvis Howay ingin, berbagai klub sepakbola lokal, maupun SSB di kota Sorong dan sekitarnya bisa belajar berkompetisi, daripada hanya sekedar latihan tanpa tahu muaranya kemana.
Ya, perihal muara inilah yang kemudian menjadi keprihatinan sendiri. Meski kini sudah banyak SSB dan klub-klub sepakbola lokal bermunculan, para aktifis sepakbola di kota Sorong ini tidak tahu, harus kemana mereka menyalurkan bibit-bibit pesepakbola yang bisa mereka banggakan. Klub resmi anggota PSSI sudah tidak ada, pengurus PSSI (Pengcab PSSI) pun sudah lama tidak aktif (baca: tidak terbentuk). Padahal mereka yakin, kemampuan, fisik dan olah bola para pemuda kota Sorong tak akan kalah dengan pemuda-pemuda lainnya yang kini beruntung bisa memperkuat klub resmi maupun di timnas PSSI. Kondisi ini dialami tak hanya di kota Sorong, namun juga kota-kota lainnya di provinsi Papua Barat, terutama di beberapa kota yang mempunyai kultur sepakbola yang kuat, seperti Manokwari, Biak, Fak-Fak dan Raja Ampat. Rata-rata klub di kota-kota tersebut belum mempunyai pembinaan berjenjang (kompetisi internal dan usia dini).
Hal yang sama pun diutarakan oleh Esteban Horacio Busto, mantan pemain Persikota Tangerang dan Persis Solo yang kini mengurus dan melatih di SSB milik istrinya, Papua Soccer Profesional Team (PSPT) ketika saya menjumpainya di sela-sela latihan anak didiknya. Esteban mengungkapkan hasrat dirinya, dan juga pelatih-pelatih di SSB lainnya, andaikata ada pihak-pihak yang bisa lebih peduli untuk melihat dan menyeleksi anak-anak muda dari kota Sorong ini, alangkah sangat berharganya jerih payah mereka selama ini.
Selain problem muara pemain tersebut, mimpi yang ingin diraih para pemerhati sepakbola di Sorong adalah adanya kursus kepelatihan dan kursus wasit. Hampir semua SSB dan klub sepakbola lokal di Sorong hanya mempunyai pelatih berlisensi D, dan lebih banyak yang tidak berlisensi. Mereka ingin meningkatkan kemampuan melatih mereka, serta meraih sertifikat yang lebih tinggi agar kemampuan mereka tidak berjalan ditempat. Begitu pula dengan perangkat pertandingan (wasit). Hanya ada satu wasit yang mempunyai lisensi, dan usianya pun sudah masuk kategori senja. Regenerasi wasit dan perangkat pertandingan adalah salah satu mimpi yang ingin mereka wujudkan pula.
Karena itulah, ketika saya datang membawa buku kurikulum sepakbola, mereka menyambutnya dengan antusias dan rasa terima kasih yang mendalam. Meski hanya sekedar buku, tapi mereka menganggap itu adalah salah satu bentuk kepedulian. Selama ini mereka melatih hanya berdasarkan pengalaman selama berkarir sebagai pemain. Buku tersebut pun mereka harapkan bisa menambah pengetahuan para pelatih dan pengurus SSB tentang kepelatihan sepakbola. Dan di akhir perjumpaan, saya katakan, meskipun buku tersebut dulu dicetak bekerjasama dengan PSSI, tapi buku ini didistribusikan bukan oleh PSSI, melainkan oleh sekelompok suporter yang peduli dengan sepakbola Indonesia, Forum Diskusi Sepakbola Indonesia. Mereka terharu, dan menyatakan bangga bahwa masih ada pemuda-pemuda yang masih punya kepedulian tinggi terhadap sepakbola Indonesia, untuk bisa menjadi lebih baik.
Terima kasih FDSI
(hmm)