#SOS : REFORMASI TATA KELOLA SEPAK BOLA NASIONAL TELAH GAGAL

Pada 14 April 2017 10:46 WIB
fdsinews.com, Jakarta – 13 April 2017- Gojek Traveloka Liga 1 akan Kick-Off mulai 15 April 2017. Sayangnya, kompetisi profesional strata 1 PSSI yang diharapkan menjadi pijakan reformasi tata kelola sepak bola nasional yang dicanangkan Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo, banyak melanggar peraturan baik Statuta FIFA, Statuta PSSI, Regulasi Lisensi Klub Profesional FIFA, Law of The Game IFAB, bahkan Regulasi Kompetisi Liga 1 sendiri.
PSSI tidak menegakkan syarat Kriteria Aspek Legal pada Lisensi Klub Profesional yang ditetapkan FIFA/AFC dengan sungguh-sungguh. PT Liga Indonesia Baru (LIB) selaku operator juga tidak tegas dalam menjalankan regulasi kompetisi yang dibuatnya. Bahkan,  Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) yang merupakan kepanjangan tangan dari Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) sebagai lembaga pembinaan, pengawasan dan pengendalian olahraga profesional berdasarkan pasal 87 ayat (3) Undang Undang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN) nomor 3 tahun 2005 dan pasal 37 PP Nomor 16 Tahun 2007 tidak melakukan pengawalan dengan baik dan benar. Verifikasi BOPI hanya formalitas. Terkesan hanya menjalankan tugas mengeluarkan rekomendasi agar kompetisi bisa berjalan.
“Reformasi tata kelola sepak bola nasional telah gagal. Pembekuan PSSI dan sanksi FIFA selama setahun lebih tak ada manfaatnya sama sekali. Masa perpanjangan waktu lewat turnamen-turnamen yang digelar selama setahun juga tidak memberikan arti terhadap agenda reformasi.,” kata Akmal Marhali, Koordinator Save Our Soccer #SOS. “Melihat banyak aturan yang dilanggar, PSSI saat ini dengan jargon #profesional dan #bermartabat justeru mengambil kebijakan yang tidak lebih baik dari yang dibekukan dua tahun silam. Padahal, isinya para pakar sepak bola yang sudah karatan karena lama berkecimpung mengurus bal-balan,” Akmal menambahkan.
Lembaga Pengembangan dan Penelitian (Litbang) #SOS mempunyai catatan khusus terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan dan dibiarkan oleh PSSI, PT LIB, bahkan BOPI sebagai garda terakhir verifikasi sekaligus pembina, pengawas, dan pengendali olahraga profesional.
 
Pertama, terkait aspek legalitas. Terjadi pratek jual beli terhadap Lisensi Kompetisi ketimbang melakukan yang seharusnya, yaitu jual beli saham kepemilikan dari Badan Hukum Klub. Padahal, dalam regulasi FIFA artikel 4.4.1.7 halaman 20 yang dijadikan acuan Konfederasi (AFC) dan federasi (PSSI) dalam menetapkan Regulasi Lisensi Klub bagi masing-masing Kompetisi yang dinaunginya, bahwa secara gamblang dan tegas dijelaskan “A licence may not be transferred” , yang jika diterjemahkan artinya: lisensi (kompetisi) tak bisa dipindahtangankan (dari badan hukum ke badan hukum lainnya).  Diperparah lagi dengan kenyataan banyak klub yang gonta-ganti Badan Hukumnya (baca: Perseroan Terbatas / PT) untuk menghindari kewajiban terhadap pihak kedua (dalam hal ini pemain & pelatih), bahkan mungkin juga ke Pihak Ketiga. Litbang #SOS memiliki data dan fakta sejumlah klub yang gonta-ganti PT (lihat lampiran) dan dibiarkan.
Kasus tunggakan gaji pemain PSMS musim 2011-2012 dan cek bodong yang diterima pelatih Pelita Bandung Raya (kini Madura United), Darko Janackovic, musim 2013-2014, senilai Rp 1,8 miliar menjadi “bola panas” akibat pembiaran tersebut. Tak ada yang bertanggung jawab karena Klub Anggota PSSI yang bernama Pelita Bandung Raya (sebelumnya bernama Pelita Jaya FC) sudah berganti Badan Hukum/PT, dengan kedok bahwa telah terbeli/terakusisi. Akhirnya, pilihannya mereka sebagai korban untuk menggunakan instrument hukum negara, yaitu melapor ke kepolisian, ketimbang Pengaduan Sengketa Kontrak Kerja melalui jalur Hukum Arbitrase Olahraga, karena tidak ada kepastian (karena bingung mau nuntut ke PT atau ke Klub, sementara Definisi Hukum sebuah Klub Sepakbola itu tidak jelas). ”Aspek legalitas merupakan hal fundamental untuk sebuah kompetisi professional menjadi industri yang aman dan stabil. Bila yang fundamental dibiarkan dilanggar, bagaimana sepak bola nasional akan berjalan dengan benar?” kata Akmal.
“Bagaimana mau menciptakan iklim industri olahraga sepakbola yang sehat yang dapat mengundang investor (diluar komunitas tertentu) ke sepakbola indonesia, jika tidak ada kepastian hukum, baik dari hukum sepakbola (olahraga), maupun hukum negara, semua kebijakan dan aturan serta pengakuan terhadap klub dan kepemilikannya bisa berubah setiap saat, tergantung dengan rezim yg berkuasa di federasi” Akmal menambahkan.
 
Kedua, terkait kepemilikan dan/atau pengelola ganda (cross ownership) yang menjadi trend di PSSI dan kompetisi sepak bola nasional saat ini. Beberapa klub yang dimiliki dan/atau pengelolaannya terlibat oleh orang yang sama. Hal ini jelas dilarang FIFA. Regulasi FIFA untuk Lisensi Klub Profesional pada Kriteria Aspek Legal di Article 9.2.1 No L.03 memberikan penjelasan gamblang larangan cross ownership, bahwa:.
“No natural or legal person involved in the management, administration and/or sporting performance of the club, either directly or indirectly”. (Dilarang orang atau badan hukum  terlibat dalam manajemen, administrasi dan/atau kinerja klub, baik secara langsung atau tidak langsung). Ada enam aspek pelarangan di antaranya: “b) holds a majority of the shareholders’ voting rights of any other club participating in the same competition” (memegang saham mayoritas dari klub lain yang berpartisipasi dalam kompetisi yang sama).
Terkait status Gede Widiade yang menjadi Direktur Persija Jakarta dan juga COO Bhayangkara FC juga dijelaskan pelarangannya pada poin f. “is involved in any capacity whatsoever in the management, administration and/or sporting performance of any other club participating in the same competition.” (terlibat dalam kapasitas apapun dalam manajemen, administrasi dan/ atau olahraga kinerja klub lain yang berpartisipasi dalam kompetisi yang sama). “Pasal 5 Ayat 1 pada Regulasi Kompetisi Liga 1 tentang integritas (integrity) juga menguatkan Regulasi FIFA larangan cross ownership, tapi kok dilanggar. Jangan-jangan PT LIB sebagai operator tak membaca aturan regulasi yang dibuatnya sendiri dan BOPI yang tugas melakukan verifikasi tak mendalami dan memahami dengan benar terkait sejumlah regulasi yang ada. Hanya melakukan cek kelengkapan dokumen tanpa memperhatikan kebenaran dari dokumen-dokumen tersebut. Lalu siapa yang harus menegakkan aturan?,” kata Akmal.
 
Ketiga, pelanggaran terkait peserta kompetisi. Dalam regulasi Liga 1 pasal 11 tentang peserta pada ayat 1 dijelaskan bahwa peserta Liga 1 ditetapkan oleh PSSI dengan memperhatikan aspek sporting merit (prestasi Olahraga) dari kompetisi Indonesia Super League (ISL) 2014 dan regulasi club licensing PSSI. Berdasarkan sporting merit ISL 2014, salah satu klub anggota PSSI yang menjadi Peserta Kompetisi ialah Persebaya Surabaya, dan tidak ada bukti hukum Pengesahan bahwa ada sebuah Klub Sepakbola anggota PSSI yang bernama Persebaya Surabaya telah berubah nama menjadi Bhayangkara FC, maka sejatinya tidak ada klub Bhayangkara FC di kompetisi profesional strata 1 PSSI dan klub anggota PSSI yang bernama Arema harus menggunakan PT Arema Indonesia sebagai badan hukumnya. “Status badan hukum klub-klub tersebut harus jelas terlebih dahulu. Tidak melanggar sporting merit, tidak melakukan jual beli lisensi (kompetisi), tidak pula bergonta ganti Badan Hukum/PT tanpa melalui proses Rapat Umum Pemegang Saham layaknya sebuah perseroan serta verifikasi kronologi dasar pergantian Badan Hukum/PT,” Akmal mengungkapkan.
 
Keempat, pelanggaran terhadap syarat pemain pemain asing baru. Berdasarkan pasal 36 di regulasi Kompetisi Liga 1 tentang Strata dan Verifikasi Pemain Asing dengan gamblang dijelaskan syarat dan ketentuannya. Bila mengacu pada pasal itu, maka striker asing baru PSM Makassar asal Brasil, Reinaldo da Costa, harusnya tidak diloloskan tampil di Kompetisi Indonesia musim ini. Berdasarkan data yang kami telusuri, klub asal Reinaldo adalah Operario Ferroviario Esporte Clube, yang terakhir menembus Campeonato Nacional Brazil Serie D/Strata IV pada musim 2015 dan justru pada musim 2016 malah tidak tembus ke Campeonato Nacional, sementara bagi pemain asing baru yang klub asalnya dari Kompetisi Brasil, kualifikasi minimal yang dapat diterima adalah dari Klub peserta Kompetisi Strata III/Campeonato Serie C. Kesimpulannya, Reinaldo da Costa seharusnya pada musim ini tidak dapat bermain di Liga 1. Hal sama juga merujuk dua pemain asing baru asal Guinea yang bermain di PS TNI: Aboubacar Sylla dan Aboubacar Camara. Keduanya tak lolos Strata dan Verifikasi Pemain Asing berdasarkan regulasi.
 
Kelima, pelanggaran pergantian pemain. Dalam Regulasi Liga 1 pasal 16 terkait pertandingan dijelaskan pada pasal 1 bahwa seluruh pertandingan dimainkan sesuai dengan Laws of The Game. Pasal 2 dijelaskan dalam hal perbedaan penafsiran dari Laws of The Game, maka yang berlaku adalah versi bahasa Inggris. Kebijakan PSSI bersama PT Liga Indonesia Baru (LIB) terkait boleh melakukan lima pergantian pemain di Liga 1 yang akan bergulir mulai 15 April 2017 melanggar Law of The Game FIFA yang dikeluarkan The International Football Association Board 2016/2017. Dalam peraturannya terkait Kompetisi Resmi (Official Competitions), FIFA menyatakan “A maximum of three substitutes may be used in any match played in an official competition organised under the auspices of FIFA, confederations or national football associations.” (Maksimal tiga pergantian pemain yang bisa dilakukan dalam satu pertandingan pada kompetisi resmi yang digelar di bawah kendali FIFA, Konfederasi, maupun Asosiasi Sepak Bola Nasional”.
   
Keenam, pelanggaran terkait transparansi keuangan. PSSI bersama PT Liga Indonesia Baru (LIB) tidak transparan terkait perjanjian kontrak dengan sponsor Liga 1 dan juga hak siar televisi. Ketua Umum PSSI, Letjen Edy Rahmayadi hanya mengatakan kontrak dengan Gojek dan Traveloka sebagai sponsor senilai Rp 180 Miliar semusim. Sedangkan berapa dana dari hak siar televisi tak dijelaskan. Dua tahun silam, sebelum pembekuan Qatar National Bank (QNB) menyediakan dana Rp 500 miliar sebagai sponsor ISL. Sementara pada Piala Presiden 2016 saat pembekuan hak siar televisi disebutkan Rp 375 miliar. “PSSI juga menjual sponsorship Liga 2 kepada Indofood dengan nilai yang dirahasiakan. Ini bertentangan dengan aspek transparansi PSSI sebagai lembaga publik yang berdasarkan keputusan Komisi Informasi Pusat (KIP) harus terbuka.
“Terlalu banyak pelanggaran yang dilakukan untuk menggelar Liga 1. Belum lagi pelanggaran Statuta FIFA dan PSSI terkait rangkap jabatan Sekjen dan pengalihan status Iwan Budianto dari Wakil Ketua Umum PSSI menjadi Staf Khusus Ketua Umum. Anehnya pelanggaran-pelanggaran ini dibiarkan pemerintah dalam hal ini Kemenpora dan BOPI selaku Pembina, pengawas, dan pengendali olahraga professional berdasarkan UU SKN dan PP Nomor 16 Tahun 2007,” kata Akmal. “Peraturan dibuat untuk dilaksanakan, bukan untuk dilanggar. Pertanyaannya, sekarang: siapa yang saat ini bertugas menegakkan aturan? Sungguh sangat disayangkan reformasi tata kelola sepak bola nasional gagal total!”

Komentar Pengunjung

Facebook Auto Publish Powered By : XYZScripts.com