#SOS: Kasus Legalitas Klub Dosa PSSI

Pada 8 January 2017 09:12 WIB

fdsinews.com, Jakarta – 7 Januari 2017 – Masalah legalitas dan dualisme klub yang masih menjadi polemik saat ini sejatinya sudah tidak masalah bila proses unifikasi antara kompetisi resmi PSSI, Indonesia Premier League (IPL), dan kompetisi Indonesia Super League (ISL) yang digulirkan Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI) pada 2013 berjalan sesuai instruksi task force FIFA dengan dibentuknya tim Joint Committee (JC).

JC saat itu terdiri dari empat wakil PSSI, yakni Todung Mulia Lubis (Ketua), Widjajanto (anggota), Saleh Ismail Mukadar (anggota) dan Catur Agus Saptono (anggota). Sementara dari KPSI: Djamal Azis (Wakil Ketua), Togar Manahan Nero (anggota), Joko Driyono (anggota), Hinca IP. Pandjaitan (anggota). Tugas JC antara lain menggelar Kongres PSSI, mengembalikan empat exco terhukum, amandemen statute PSSI, dan unifikasi Liga (IPL dan ISL).

Sayangnya, saat Kongres Luar Biasa terjadi pembeltotan. Setelah empat exco terhukum (La Nyalla Mattalitti, Tony Apriliani, Roberto Rouw, dan Erwin Dwi Budiawan) dikembalikan posisinya, terjadi kudeta. Enam anggota Exco  yakni Wakil Ketua Farid Rahman, Tuty Dau, Mawardi Nurdin, Widodo Santoso, Bob Hippy, dan Sihar Sitorus dipecat. Posisinya digantikan Djamal Aziz, La Siya, Hardi Hasan, dan Zulfadli. PSSI yang dipimpin Djohar Arifin dan Wakil La Nyalla Mattalitti juga membekukan PT Liga Primer Indonesia Sportindo (LPIS) sebagai operator kompetisi. IPL dihentikan dan digelar play-off.

“Dari sinilah masalah dualisme klub dan legalitas klub menjadi masalah. PSSI Kongres Borobudur bukan menjalankan amanat FIFA/AFC, untuk melakukan unifikasi liga, tapi melakukan pembunuhan klub IPL yang sejatinya bermain di kompetisi resmi PSSI.  Harusnya, masalah ini tak sampai berlarut sampai detik ini bila unifikasi benar-benar dilakukan dengan semangat rekonsiliasi, bukan membawa kepentingan kelompok,” Akmal Marhali, Koordinator #SaveOurSoccer (SOS) menegaskan.

Play-off IPL yang semula untuk menentukan peserta yang akan masuk unifikasi dilakukan “pengaturan” sedemikian rupa. Persebaya Surabaya dan Arema Indonesia tak disertakan karena PSSI hasil Kongres Borobudur yang didominasi KPSI lebih memilih Persebaya dan Arema yang main di kompetisi mereka. Padahal, legalitasnya palsu. Sementara Persema Malang, Persibo Bojonegoro, dan Persija Jakarta tidak disertakan dengan alasan didiskualifikasi. Semen Padang lolos langsung melalui wild card.

Play-off diikuti 10 klub dengan dibagi dua grup. Grup K terdiri dari Persijap Jepara, Pro Duta Mojokerto, PSM Makassar, Bontang FC dan PSLS Lhokseumawe yang dilangsungkan di Stadion Gelora Bumi Kartini (Jepara). Sementara Grup L, terdiri dari Persiba Bantul, PSIR Rembang, Perseman Manokwari dan Persepar yang berlaga di Stadion Sultan Agung Bantul (Bantul). Uniknya, Pro Duta sebagai juara dan Persepar sebagai runner-up yang sejatinya lolos unifikasi tidak diloloskan. PSSI memilih PSM Makassar, dan tuan rumah Persijap Jepara dan Persiba Bantul.

“Play-off digelar, tapi yang lolos sudah ditentukan. Play-off hanya jadi ajang tipu-tipu. Semua ini ulah PSSI dan mereka sejatinya harus bertanggung jawab atas semua rekayasa ini,” Akmal mengungkapkan. “Mayoritas exco PSSI yang ada saat ini tahu masalah dan fakta sebenarnya mana yang palsu dan asli. Kita berharap mereka mau jujur atas kesalahan masa lalu sehingga Edy Rahmayadi sebagai Ketua Umum PSSI saat ini tidak mengulangi kesalahan masa lalu dalam Kongres Tahunan PSSI di Hotel Aryaduta, Bandung, hari ini,” Akmal menambahkan.

Edy Rahmayadi memang dihadapkan pada situasi sulit terkait “dosa” masa lalu PSSI kepemimpinan Djohar Arifin dan La Nyalla Mattalitti. Pria yang menjabat Pangkostrad tersebut harus menyelesaikan masalah legalitas klub yang melibatkan tujuh klub yang disingkirkan PSSI masa lalu (Persebaya, Arema, Persema, Persibo, Persewangi Banyuwangi, Lampung FC, dan Persipasi Kota Bekasi). Mereka sejatinya klub asli yang punya legalitas, tapi disingkirkan karena kepentingan kelompok saat itu.

Persebaya yang dikelola PT Persebaya Indonesia sejatinya harus main di level tertinggi. Maklum, Persebaya (lain) yang dikelola PT MMIB yang kini berganti nama menjadi Bhayangkara FC adalah klub illegal yang membeli lisensi bodong. Apalagi Pt Pengelola Persebaya Indonesia saat ini yang memegang Hak Paten (HAKI) atas nama Persebaya. “Kembalikan hak Persebaya yang asli. Itu jalan yang sangat adil dan fair. Bhayangkara FC yang notabene Korp Polisi kembali saja sebagai pengayom dan penjaga keamanan masyarakat. Apalagi, jual belinya dilakukan di tengah PSSI dibekukan,” Akmal menegaskan.(Kronologis kasus Persebaya bisa dilihat dalam lampiran)

Masalah paling unik terjadi di Arema Cronus. Bagaimana bisa dua klub membelah diri? Semula Arema dan Pelita Jaya berencana merger. Tapi, di tengah jalan disulap. PT pengelola Pelita Jaya mengambil alih Arema (Cronus), sementara lisensi (slotnya) dijual ke Bandung Raya dan menjadi Pelita Bandung Raya. “Untuk kasus Arema sebenarnya sangat jelas dan mudah diselesaikan. Kembalikan Arema Indonesia ke pengelola awalnya PT Arema Indonesia. Atau jalan tengahnya lakukan rekonsiliasi dengan Cronus dengan cara berbagi saham yang jelas dan transparan. Kedua kubu PT Arema Indonesia (Novi Lucky Acub Zaenal) dan Arema Cronus yang dikelola Iwan Budianto tinggal diminta bersatu saja,” kata Akmal.

Sementara kasus Persema Malang dan Persibo Bojonegoro tinggal dikembalikan ke habitatnya semula: Divisi Utama. Persewangi, Persipasi, dan Lampung FC diminta rekonsiliasi. “Di sini ditunggu ketegasan Edy Rahmayadi sebagai Ketua Umum PSSI. Bila mampu bersikap tegas berdasarkan data dan fakta yang ada semua masalah bisa diselesaikan dengan baik dan benar,” Akmal mengungkapkan.

PSSI dalam Kongres Tahunan juga harus membuat aturan baku terkait jual beli saham klub agar tak melanggar Statuta FIFA. Dalam artikel 4.4 halaman 20 dari Regulasi FIFA untuk Lisensi Klub, yang harus dijadikan acuan oleh Konfederasi (AFC) dan Anggota Federasi (PSSI) dengan gamblang dan tegas dijelaskan. Pada Artikel 4.4.1.7 menyatakan “A licence may not be transferred” yang bila diterjemahkan berarti lisensi sebuah klub tak bisa dipindahtangankan (dijualbelikan). Artinya, bila Federasi (baca: PSSI) dan League Governing Body/Pengelola Liga (baca; PT. Liga Indonesia) sebagai Lisensor (Otoritas yang memberi Lisensi (Izin Peserta Kompetisi) membolehkan, maka mereka serta merta telah melanggar ketentuan dan regulasi yang telah ditetapkan FIFA terkait Lisensi Klub. Dengan kata lain, FIFA pantas memberikan sanksi kepada PSSI.

“PSSI harus membuat regulasi khusus terkait jual beli saham klub agar berlangsung jelas dan transparan karena ini menyangkut visi misi menjadikan PSSI sebagai organisasi professional dan bermartabat. Gebrakan Edy Rahmayadi sebagai symbol reformasi sepak bola nasional ditunggu untuk masalah ini. Jangan lagi PSSI kembali ke masa lalu yang membiarkan masalah untuk kepentingan kelompok tertentu,” Akmal mengungkapkan. “Bila PSSI saat ini tak bisa menyelesaikan masalah dualism klub dan legalitas serta lisensi klub sama artinya dengan meneruskan dosa masa lalu.”

Ayo, Tuntaskan Jenderal!

 

 

Komentar Pengunjung

Facebook Auto Publish Powered By : XYZScripts.com