NEGARA VS PSSI

Pada 7 August 2015 13:15 WIB

Salah satu kegagalan Revoluppsi jilid I beberapa tahun lalu, selain “kelihaian” KPSI yg berhasil menyusupkan orang2nya ke dalam PSSI juga disebabkan krn PSSI hanya fokus n yg terjadi di pusat saja. Mereka mengabaikan “kekuatan” PSSI daerah dalam hal ini ASSPROV (Assosiasi sepak bola Provinsi) dan ASSKAB (Assosiasi Sepakbola Kabupaten/kota).
Padahal mafia bola tidak hanya ada di PSSI pusat. Di daerah, terutama ASSKAB yg mendapat gelontoran dana APBD tiap tahun cenderung patuh dan tunduk kebijakan PSSI pusat krn takut SK kepengurusannya dicabut oleh ASSPROV dan ASSPROV menjalankan apapun kemauan PSSI pusat, juga krn takut SK kepengurusannya dicabut oleh PSSI pusat.

Tali rafia tali sepatu, sesama mafia saling membantu. ASSKAB dan ASSPROV menekan klub2 di daerah.Klub amatir mereka tekan dengan “politik anggaran” dan Klub profesional mereka tekan melalui “kekuatan” pemerintah daerah, terutama yg kepala daerahnya punya hubungan dan ketergantungan politik dengan salah satu partai yg menguasai sepakbola di Indonesia.
PERSID (Persatuan sepakbola Indonesia Djember) yg sejak awal mendukung keputusan pemerintah, dan menyatakan kesiapan untuk mengikuti kompetisi/turnamen yang akan di gelar kemenpora lewat Tim transisi ‘dikeberi’ aktivitasnya dengan alasan PSSI sudah dibekukan oleh menpora. Beda dengan klub lain yg juga berada di Jember, bersama dengan ASSKAB PSSI Jember klub tersebut digelontor milyaran rupiah meski miskin aktivitas.
Dan apa yg dialami Persid bisa juga terjadi di daerah-daerah lain.

Harusnya stakeholder sepakbola di daerah juga diberi perhatian, agar tidak dimanfaatkan oleh rezim lama. Kemenpora bisa menggunakan Dinas Pemuda dan Olahraga atau Kantor Pemuda dan Olahraga di daerah dalam mensosialisasikan kebijakan2nya mengawal Revoluppsi jilid II. Jangan sampai kegagalan Revoluppsi I kembali terulang, apalagi di Revoluppsi jilid II ini kehadiran Negara jelas. Saat ini bukan PT atau kelompok masyarakat tertentu yang berhadapan dengan PSSI. Tapi Negara vs PSSI. Haruskah Negara kalah melawan Mafia?

Jangan terjebak permainan PSSI rasa KPSI. Gaya lama jika PSSI menggunakan dan memanfaatkan klub2 yg sejatinya sdh mereka kuasai untuk mempertahankan kekuasaannya.
Masih segar dalam ingatan kita saat terjadi dualisme PSSI dan KPSI. KPSI bisa mengelar kompetisi dgn klub2 “terbaik” di negeri ini. Mereka melarang pemain untuk memperkuat Timnas, mereka juga bisa membentuk Timnas tandingan sekalipun bertandingnya melawan remaja2 gereja di Australia.

Klub2 yang memiliki suara dalam kongres memang harus dirangkul. Tapi itu bukan harga mati. Kemenpora tidak harus mengikuti semua keinginan dan kemauan klub-klub itu. Karena harus dipahami sebagian dari mereka tidak memiliki keberanian melawan kebrobokan PSSI, bahkan sebagiannya lagi benar-benar dibawah ketiak pengurus PSSI pusat.
Rangkul mereka, ajak mereka, sadarkan mereka tapi juga harus hati2 agar mereka tidak menjadi penyusup yang membawa kepentingan rezim lama.
Kalau mereka mengembosi atau bermain di dua kaki apalagi punya indikasi ‘makar’, tinggalkan!. Sebab jika kemenpora mengandalkan klub2 seperti itu di pastikan kemenpora gigit jari. Seandainya di gelar Kongres Luar Biasa guna memilih Ketua PSSI baru, hampir bisa dipastikan orang-orang lama akan kembali berkuasa lagi jika pihak kemenpora terlalu banyak berkompromi.
Artinya apa yang dilakukan oleh kemenpora untuk memperbaiki tata kelolah sepakbola Indonesia hanya isapan jempol saja. PSSI akan kembali kemasa sebelum organisasi ini dibekukan.
Jika hal itu terjadi akan menjadi catatan sejarah paling buruk dalam persepakbolaan Indonesia dan itu akan selalu di ingat oleh insan bola. Bahwa kalau ada konflik dengan PSSI dikemudian hari tetap dukung PSSI sekalipun mereka bobrok karena siapapun yang melawan PSSI pada akhirnya pasti kalah.

Dalam menyikapi polemik sepakbola Indonesia, kemenpora harus belajar pada KPSI. Pemetaan kekuatan yang pro dan kontra kemenpora harus benar. Dulu KPSI berhasil dengan cara ini, klub yang membakang mereka sanksi bahkan dikeluarkan dari keanggotaan PSSI, atau jika memang sangat di butuhkan keberadaan klub tersebut mereka bikin gaduh dengan dualisme yang akhirnya PSSI mengakui keabsahan klub yang pengurusnya sejalan dengan mereka.
Bahkan untuk melengkapi kuota, KPSI juga memberikan promosi gratis bagi klub yang mau mendukungnya, semisal naiknya Persebo Bondowoso dll ke Divisi Utama tanpa berkompetisi. Persegres yang musim sebelumnya entah berkompetisi di Divisi berapa tiba-tiba bisa nongol ke kasta teratas liga yang mereka putar.

Jika Negara mau hadir untuk bersih-bersih, kemenpora harus berani lebih tegas, kalau Menpora enggan mencotoh cara KPSI. Cara lainnya, bubarkan PSSI! dan pengurus-pengurusnya hukum seumur hidup tidak boleh mengikuti kegiatan sepakbola di seluruh wilayah NKRI. Karena tidak mustahil cara-cara pengurus PSSI dalam mempertahankan kekuasaannya bisa memecah bela kesatuan dan persatuan bangsa yang menjadi dasar organisasi olah raga tertua ini berdiri, Apalagi dalam berbagai kesempatan yang ditampikan di publik, mereka terang-terangan pernah tidak menggagap keberadaan Negara ini.

Intinya Negara jangan sampai kalah melawan Mafia. Syukur2 ada cara yang lebih elegan.

Semangat terus pak Menpora..!!
Tetap Istiqomah bapak Imam Nahrawi..!!

Jember, 05 Agustus 2015.
Penulis : Wardoyo Achmad
Pengemar PERSID Jember, Arsenal dan Timnas Indonesia.

Komentar Pengunjung

Facebook Auto Publish Powered By : XYZScripts.com