Menghentikan Kompetisi Adalah Pengkhianatan Terhadap Sepakbola

Pada 25 April 2015 08:14 WIB

image

Jakarta, fdsinews.com – Amanah terbesar sebuah rezim di PSSI adalah menggelar kompetisi bagi anggotanya. Itu jelas tercantum didalam statutanya. Jika rezim yang ada justru mengajak anggotanya untuk tidak berkompetisi, maka harus dipertanyakan rezim ini mengusung misi olahraga ataukah memakai baju olahraga sepakbola untuk berpolitik. Demikian bunyi press release dari LSM SEMPRIT (Sepakbola Menuju Prestasi Tertinggi) melalui Direkturnya Ari Wibowo, yang juga mantan GM PSIS di ISL 2008/2009.

Ari mengkritik kinerja PSSI dan PT LI yang dianggap melakukan blunder dengan mengundur jadwal kick off dari bulan Pebruari ke awal April. Itu terjadi akibat mereka melakukan pembiaran kepada klub-klub yang tidak kooperatif dan tidak serius melengkapi persyaratan yang diminta oleh BOPI. Setelah kick off dilakukan awal April, baru berjalan 2 pekan langsung dihentikan sendiri. Ini blunder kedua yang dilakukan oleh PSSI dan PT LI.

Kinerja PSSI dan PT LI yang dengan seenaknya menghentikan kompetisi sungguh sebuah pengkhianatan terhadap sepakbola itu sendiri. Apalagi latar belakang dan alasan menghentikan kompetisi bukan berada di domain olahraga, melainkan lebih cenderung di sisi solidaritas irasional kepada 2 klub yang tak mendapat rekomendasi mengikuti kompetisi. Ini bentuk solidaritas konyol, karena 16 klub rela berdarah-darah demi menuntut Menpora dan BOPI memberi dispensasi kepada 2 klub yang tak lolos verifikasi.

Jika mau memberi solidaritas yang rasional, seharusnya dilakukan dengan cara tetap menjalankan kompetisi sejumlah 16 klub, dan 2 klub yang bermasalah dijamin tak terkena degradasi dan tetap bisa ikut kompetisi di musim berikutnya. PSSI bisa mengagendakan kongres khusus guna mengkondisikan hal ini agar tidak melanggar statuta.

Memposisikan sepakbola bukan di koridor olahraga yang sesungguhnya, dan lebih mengedepankan kepentingan non olahraga yang ditempuh oleh rezim PSSI membuat banyak pihak jatuh korban. Pemain dan pelatih kacau programnya dan tak jelas pendapatannya. Finansial klub babak belur akibat minim pemasukan dan dijauhi sponsor. Suporter lebih merana lagi, akibat antusiasme dan gairah mereka menonton sepakbola tak bisa tersalurkan.

Kepada siapa mereka harus meminta pertanggung-jawaban? Tentunya kepada pihak yang menghentikan kompetisi itu sendiri, yaitu PSSI dan PT LI. Sesungguhnya banyak suporter yang tak sependapat dengan pihak manajemen klub yang tersandera oleh solidaritas irasional yang digelorakan oleh rezim PSSI. Suporter cenderung memilih kompetisi harus diputar sesegera mungkin tanpa peduli hal solidaritas kepada 2 klub yang bermasalah.

Ketika rezim berganti, Ari berpikir bahwa rezim baru dibawah La Nyalla (meski dianggap tidak sah oleh Menpora) ini akan berperilaku lain dari rezim sebelumnya, dan mampu memutar kompetisi. Akan tetapi status rezim baru yang ilegal membuat mereka tak berdaya menghadapi urusan perijinan di kepolisian. Kompetisipun belum bisa diputar. Tanpa dukungan pemerintah yang sah, rezim sekuat apapun tak mungkin mampu memutar kompetisi.

Bersyukur Menpora punya inisiatif untuk segera mengatasi krisis ini, dengan mengundang PT LI dan 16 klub dalam sebuah rapat koordinasi dan persiapan memutar kompetisi. Ini bentuk tanggung-jawab Menpora selaku pengambil kebijakan olahraga tertinggi di republik ini.

Jika direspon dengan baik, maka kompetisi bakal segera bergulir dan kerinduan suporter melihat tontonan dam hiburan sepakbola bakal segera terwujud. Dapur pemain dan pelatih juga segera ngebul, karena biasanya pihak klub cenderung terlambat bayar gaji jika tak ada pertandingan yang identik dengan tak ada pemasukan.

Tapi jika rezim baru dan ilegal ini tetap menempatkan sepakbola di domain non sepakbola, dan lebih memilih menempuh konflik berkepanjangan melawan pemerintah sekalipun harus mengorbankan kompetisi, maka sepakbola kita makin buram.

Manajemen klub sebenarnya punya opsi untuk keluar dari lingkaran solidaritas irasional yang digelorakan oleh rezim PSSI ilegal, dan lebih berpihak kepada klubnya sendiri. Merespon dengan baik undangan Menpora supaya kompetisi segera bergulir adalah langkah bijak yang pasti diamini oleh pemain, suporter, dan stake holder lainnya.

Akan tetapi jika mereka menolak bersinergi dengan Menpora, dan memilih konflik berkepanjangan meski harus mengorbankan kompetisi, publik akan mencatat dan mengingat semua kejadian ini dalam-dalam. Publik tahu pasti siapa yang layak dimintai pertanggung-jawaban jika ditanya kenapa kompetisi ini terhenti. (25 April 2015).

Komentar Pengunjung

Facebook Auto Publish Powered By : XYZScripts.com