Kolom Renungan Lima Alinea – Yang Belum Tuntas di Glasgow

Pada 21 May 2014 15:26 WIB

Oleh: Oryza Ardyansyah

Di Glasgow, Skotlandia, selama turun-temurun, generasi demi generasi, para pendukung klub Rangers dan Celtic saling serang. Mereka tinggal di bawah langit yang sama, bertetangga, di bawah kibaran bendera nasional yang sama. Namun para pendukung Rangers dengan kibaran bendera biru atau oranye selalu menyanyikan ejekan untuk lawan mereka: lutut kami berkubang darah orang Feni. Dan para pendukung Celtics dengan kibaran bendera hijau meneriakkan kalimat yang tak pernah berubah: Oranye haram jadah.

Glasgow sebuah kota yang terbelah dengan ironi. Di sini para pemikir dunia modern seperti Adam Smith lahir. Sepakbola menjadi industri. Namun di sini pula sepakbola tak pernah beranjak dari persengketaan agama abad 16: Rangers mewakili komunitas Protestan dan Celtic mewakili komunitas Katolik. “Inilah perang yang belum tuntas antara Katolik dengan gerakan reformasi Protestan,” tulis jurnalis Majalah The New Republic, Franklin Foer, dalam bukunya soal globalisasi dan sepak bola.

Glasgow Celtic dibentuk oleh Romo Walfrid karena takut. Ia berharap sebuah klub sepakbola yang juara bisa menghancurkan mitos inferioritas kaum Katolik terhadap Protestan di Skotlandia. Dan, kaum Protestan membalasnya dengan menjadikan Rangers sebagai simbol perlawanan. Secara telak, menurut Foer, Rangers menggantikan simbol Gereja Protestan di Skotlandia.

Saat pengujung pekan tiba di Glasgow, ketika Rangers berhadapan dengan Celtic, bangsal gawat darurat rumah sakit mendadak lebih sibuk dari biasanya. Pasien yang dikirim ke sana bisa melonjak sembilan kali lipat. Foer mencatat: selama tujuh tahun terakhir 18 orang pendukung dari kedua kubu tewas.

Akhirnya, keputusasaan melanda Graeme Souness, pelatih Rangers. “Fanatisme akan selalu bercokol di Ibrox (stadion kandang Rangers).” Ia benar, dan saya rasa Souness bukan satu-satunya yang berpikir demikian. []

Komentar Pengunjung

Facebook Auto Publish Powered By : XYZScripts.com