Kita Bukan Macan Asia, Bung!

Pada 21 October 2014 11:19 WIB

FDSInews – Saya selalu mengerenyitkan dahi ketika membaca atau mendengar sebutan tim nasional kita pernah menjadi macan asia di decade 50 sampai 60an. Dari deretan data yang pernah saya lihat, saya justru tidak menemukan sebuah fakta yang layak menyebut timnas kita macan asia. Di level Asia misalnya, kita baru bisa lolos ke putaran final Piala Asia pada tahun 1996, ketika itu di kualifikasi kita menyingkirkan lawan yang kurang kuat, Malaysia dan India.

Prestasi yang bisa membanggakan selama kurun waktu decade 50 sampai 60 adalah sebuah perunggu Asian Games 1958 dan tiket lolos Olimpiade, di Olimpiade 1956 Ramang cs tampil mempesona, hanya itu. Maka ketika kita menengok catatan kita di Wikipedia atau situs resmi seperti Fifa.com atau Afc.com, prestasi Garuda menyedihkan, level kita jauh dibawah Myanmar. Myanmar yang dulunya bernama Burma lebih pantas disebut sebagai macan Asia, saya bahkan tidak tahu dari mana julukan macan asia tersebut? Kalau ada trofi yang membanggakan, mungkin juara King’s Cup tahun 1968 adalah trofi yang dimaksud.

Perjalanan prestasi timnas kita semakin suram ketika negara-negara Arab dengan kekuatan petrodollarnya mampu menyulap sepakbola mereka menjadi mengkilap. Dengan postur yang tinggi menjulang ditopang lari yang kencang serta fisik yang merata bagus, tim dari Arab sulit untuk dikalahkan. Di Belahan timur, China, Korea dan Jepang sejak tahun 1970an seperti tidak bisa dikalahkan oleh kita, kita selalu kalah sebelum bertanding dengan mereka. Padahal kita punya banyak proyek pembinaan pemain muda yang coba meretas sebuah jalan menuju pentas Asia, mulai dari proyek PSSI Binatama, Garuda I & II, Primavera, Baretti, SAD Uruguay namun hasilnya tetap sama, nihil prestasi.

Salah seorang pelatih Brasil yang pernah menangani PSSI Binatama sempat berujar bahwa pemain kita terlalu asyik bermain individu dan lupa melakukan operan, dan akutnya penyakit tersebut masih terjadi hingga kini. Dan ketika 23 anak muda dari hasil blusukan Indra Syafrie bermain bola, kita melihat ada sesuatu yang berbeda, mereka telah paham cara bermain bola denga benar hanya saja beberapa pemainnya masih mengidam penyakit akut: terlalu asyik bermain sendiri.

Sepakbola adalah permainan tim, bukan pertunjukan sirkus yang dimainkan satu atau dua orang yang bertindak akrobat bergaya hebat padahal skil pas-pasan. Inteligensi memang diperlukan untuk menunjang karakter pemain, skill adalah natural, fisik dan stamina yang bagus mempermudah pelatih menerjemahkan strateginya, apalah arti skill dan lari kencang jika hanya kuat selama 30 menit, sisanya nafas ngos-ngosan kayak babak belur di kejar patroli.

Menjadi macan Asia sejati bukan sekedar slogan, bukan pekerjaan enteng, sepakbola telah jauh berkembang pesat, negeri liliput yang dulu baru belajar mengoper bola kini sedang bangkit dan mulai menggoyang kekuatan sepakbola yang sudah mapan. Kita perlu merangkai kembali blue print pembinaan sepakbola nasional. Diklat yang ada didaerah perlu kembali digairahkan, metode kepelatihan hingga sains sport yang modern diperlukan, kita perlu membypass pembinaan sepakbola kita. Berat rasanya jika masih bergantung kepada stok pemain yanga ada sekarang, terkecuali pemain U-19 yang babak belur di Myanmar masih bisa diandalkan kemudian hari, hanya saja mereka perlu diduplikasi lebih banyak lagi.

Sudah saatnya kita mengubah catatan dilembar sejarah, nama Indonesia mesti ada dalam catatan juara di turnamen resmi Asia dan dunia, saatnya bangkit menjadi macan asia sesungguhnya, kepakkan sayap garuda, terbang tinggi raih prestasi dunia dan PSSI mesti segera berubah menjadi lebih bermartabat dibawah pengurus yang terhormat, yang punya harga diri dan bekerja untuk bangsa.

 

Oleh : Indra Sastrawat

*tulisan ini juga dimuat di kompasiana dengan judul yang sama

Komentar Pengunjung

Facebook Auto Publish Powered By : XYZScripts.com