Jual-Beli/Pindah Tangan Lisensi Klub, Pelanggaran di Sepakbola Indonesia yang tidak pernah diketahui FIFA

Pada 28 January 2016 13:08 WIB

fdsinews.com – Pernyataan CEO PT Liga Indonesia, Joko Driyono, yang mengizinkan klub berganti nama dan legalitas badan hukum (Perseroan Terbatas), perlu diluruskan karena sangat bertentangan dengan statuta dan regulasi FIFA terkait lisensi klub.

Dalam artikel 4.4 halaman 20 dari Regulasi FIFA untuk Lisensi Klub, yang harus dijadikan acuan oleh Konfederasi (AFC) dan Anggota Federasi (PSSI) dalam menentapkan Regulasi Lisensi Klub untuk Kompetisi masing-masing (Konfederasi: AFC Champions League & AFC Cup) serta Federasi (ISL & Divisi Utama), dengan gamblang dan tegas dijelaskan pada Artikel 4.4.1.7 yang menyatakan “A licence may not be transferred” yang bila diterjemahkan berarti lisensi sebuah klub tak bisa dipindahtangankan (dijualbelikan). Artinya, bila Federasi (baca: PSSI) dan League Governing Body/Pengelola Liga (baca; PT. Liga Indonesia) sebagai Lisensor (Otoritas yang memberi Lisensi (Izin Peserta Kompetisi) membolehkan, maka mereka serta merta telah melanggar ketentuan dan regulasi yang telah ditetapkan FIFA terkait Lisensi Klub. Dengan kata lain, FIFA pantas memberikan sanksi kepada PSSI.

PT Liga Indonesia sepertinya sedang “bermain kata-kata” setelah banyak kasus, terkait lima aspek kriteria lisensi klub profesional — Legal, Infrastruktur, Finance (Finansial), Sporting (Pembinaan Olahraga), dan Management (Administrasi & Personalia) – yang menjadi landasan bagi FIFA-AFC-PSSI dalam menetapkan kriteria untuk sebuah klub sepakbola “Layak” mendapat Lisensi untuk menjadi Peserta sebuah Kompetisi Profesional telah dibongkar Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI), khususnya dalam aspek Legalitas dan Finansial.

Pemerintah melalui Kemenpora dan BOPi sebagai instrumennya, belakangan ini memang gencar mengampanyekan agar regulasi FIFA-AFC terkait Lisensi Klub untuk Kompetisi Profesional dijalankan dengan benar. Hal itu dilakukan setelah banyak kasus penunggakan gaji pemain yang tak tuntas diselesaikan akibat kondisi finansial dan business model klub yg tidak sustainable. Selain aspek penunjang lain, seperti legalitas, yang banyak “dipermainkan” dengan perilaku gonta ganti Badan Hukum (baca: PT) sehingga banyak klub peserta dari kompetisi yang berstatus profesional, yang lari dari tanggung jawab terhadap hak-hak karyawan-karyawannya (termasuk pemain, pelatih & ofisial tim) dan (kemungkinan) pihak ketiga (cth: Pajak, dll).
Akibat banyaknya klub yang tak punya kemampuan secara finansial, tapi dipaksakan tampil di Kompetisi ber-format Liga dengan nama/merk “Indonesia Super League/ISL” dan turunannya, maka notanene pengaturan skor pun merajalela. Bandar-bandar judi menjadi “dewa penyelamat” klub lewat program Match Fixing (Pengaturan Pertandingan) yang dilakukan dan merusak semangat sportivitas dan fair play yang menjadi hakikat dari kompetisi sepak bola profesinal.

Sejatinya entitas dari klub sepak bola profesional itu adalah badan hukum (atau PT) dari klub itu sendiri. Seperti dua sisi mata uang yang saling keterkaitan dan tak terpisahkan. Klub bersenyawa dengan entitas hukum-nya. Ibarat produk minuman dan kemasannya. Badan hukumnya (perusahaan) berkaitan langsung dengan produk (klub/tim) yang didagangkan dengan merk (nama klub/tim). Inilah yang membedakan antara klub profesional dengan tim sepak bola atau kesebelasan yang sekedar dibentuk oleh perseorangan atau komunitas untuk bermain di sebuah pertandingan akhir pekan atau tarkam. Inilah yang selama ini maknanya dikaburkan oleh PSSI dan PT. Liga Indonesia.

Padahal, FIFA-AFC punya aturan saklek terkait Regulasi Lisensi Klub. Utamanya, menyangkut badan hukum sebuah klub yang tak boleh bergonta-ganti karena berimplikasi terhadap jalannya tata kelola dan administrasi dari sepak bola profesional. Begitu pula terkait perubahan nama klub. Ada sejumlah prosedur ketat yang diberlakukan. Tujuannya, selain untuk profesionalitas sebuah klub, juga untuk menjaga kemungkinan larinya klub dari tanggung jawab sebagai sebuah badan hukum.

Sebagai contoh ketika Sheikh Mansour mengakuisi kepemilikan klub Manchester City FC, nama (atau merk) dari klub tak serta merta berubah sesuai keinginan si pemilik baru. Nama badan hukum dari Klub “The Citizen” yakni Manchester City Football Club Ltd. juga tak berganti. Yang hanya bisa berubah adalah status kepemilikan saham mayoritas dari perusahaan (baca: klub) tersebut. Sheikh Mansour sebagai pemilik baru pun punya tugas menyehatkan keuangan klub bila saat dibeli dalam kondisi defisit. Ia juga punya kewajiban membayar utang-utang klub (baca: Perusahaan), baik kepada pemain atau pun pihak ketiga yang memiliki piutang.

Hal sama juga berlaku di Prancis. Ketika konglemerat asal Qatar, Nasser Al-Khelaifi, dalam mewakili Grup Usaha bernama Qatar Sports Investment, membeli/akusisi kepemilikan dari klub Paris Saint Germain dari Grup Usaha Colony Capital, nama (baca: merk) dari klub dan juga Badan Hukum dari klub (yaitu PARIS SAINT-GERMAIN FOOTBALL, Anonymous Sportive Professional Society/SASP) tak serta merta diubah. Yang berubah hanyalah status kepemilikan saham dari Badan Hukum klub tersebut.

Contoh paling mudah dipahami karena kedekatan emosional personal dengan Indonesia adalah ketika pengusaha Indonesia, Erick Thohir, membeli klub italia dgn “merk” yaitu FC Internazionale Milan. Nama/Merk dan status Badan Hukum dari klub FC Internazional tetap yaitu FC Internazionale Milano S.p.A. Yang berubah adalah saham mayoritas yang semula dimiliki Massimo Moratti kini berpindah tangan ke Erick (yang mewakili grup usaha International Sports Capital s.p.A).

Contoh-contoh konkrit ini sekaligus menegaskan bahwa pernyataan Joko Driyono yang mengizinkan klub sepakbola untuk berganti nama dan badan hukum (baca: perusahaan) sangatlah bertentangan dengan ketentuan serta regulasi FIFA-AFC. PT Liga sepertinya ingin melindungi sejumlah klub yang selama ini telah melanggar aturan FIFA-AFC, bahkan regulasi PSSI itu sendiri. PT Liga sepertinya ingin melindungi klub sepakbola dengan nama/merk “Arema Cronus” dan “Surabaya United” (sebelumnya klaim sebagai Persebaya) yang badan hukumnya bermasalah.

Ya, sebelum PSSI dibekukan Pemerintah dalam hal ini Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Imam Nahrawi, lewat Surat keputusan bernomor 01307 tahun 2015 tertanggal 17 April 2015, BOPI mengungkap terjadinya pelanggaran regulasi FIFA-AFC terkait lisensi klub profesional untuk Arema Cronus dan Persebaya (ISL) versi PT. MMIB a.k.a Surabaya United. Tapi, bersikukuh PSSI dan PT. Liga Indonesia mati-matian membelanya.

Faktanya, seiring waktu apa yang dilakukan BOPI benar. Lisensi klub Persebaya (ISL) bermasalah. PT. MMIB tidak punya hak pengakuan sebagai Badan Hukum dari klub Persebaya. Apalagi setelah PT. Persebaya Indonesia punya landasan hukum dalam bentuk hak paten atas logo dan nama/merk Persebaya dari HAKI, terlebih apalagi sebenarnya pada Kompetisi PSSI divisi ISL musim 2009/2010 ketika Persebaya menjadi peserta dengan status klub promosi hasil play-off, dimana PT. Liga Indonesia kala itu sebagai Lisensor telah mengakui PT. Persebaya Indonesia sebagai Badan Hukum dari klub anggota PSSI yang bernama Persebaya, dan memberi Lisensi untuk ikut serta Kompetisi ISL untuk musim 2009/2010. Sehubungan dengan kepastian hak paten logo dan merk Persebaya bagi PT. Persebaya Indonesia, maka di tengah jalan PT. MMIB berubah nama/merk menjadi Bonek FC dan kini Surabaya United FC.

Sementara kasus klub Arema Cronus lebih melanggar hukum lagi. Selama masa kompetisi dari musim 2011/12 hingga musim 2014, PT yang digunakan sebagai Badan Hukum ternyata berstatus “bodong”. Pasalnya, Badan Hukum yang sejak awal kompetisi ISL musim 2008/2009 telah dilaporkan ke PSSI & PT. LI (yaitu PT. Arema Indonesia) ternyata tidak dipegang oleh pihak Arema Cronus, yang meng-klaim bahwa telah akusisi saham kepemilikan PT. Arema Indonesia melalui PT. Pelita Jaya Cronus sebagai Holding Company (Payung Perusahaan),
[ — yang juga ternyata kebetulan sebagai Holding Company (Payung Persuhaan) dari PT. Nirwana Pelita Jaya (Badan Hukum dari Klub Pelita Jaya FC), dimana itu juga Pelanggaran dari Regulasi FIFA untuk Lisensi Klub terkait Cross Ownership pada Pasal Ownership & Control of Clubs di Aspek Legal — ]
melainkan tenyata secara hukum, kepemilikan saham mayoritas dari PT. Arema Indonesia dimiliki oleh pihak pengelola Klub Arema Indonesia yang sebelumnya bermain di Kompetisi Resmi PSSI Strata 1 dari musim 2011/12 hingga 2013 dengan merk “Indonesia Premier League/IPL”, tapi pengelola Klub Arema Indonesia “dihilangkan” pengakuannya oleh PSSI dan PT Liga terkait kepemilikan PT. Arema Indonesia. Kini, setelah jelas diketahui secara legal terkait siapa Pemilik sebenarnya dari PT. Arema Indonesia, maka klub dgn merk Arema Cronus yang dipimpin Iwan Budianto akhirnya memilih jalan pintas dengan membentuk Badan Hukum baru dengan nama PT. Arema Aremania Bersatu Berprestasi Indonesia. Dan, ini sejatinya menyalahi aturan dari Regulasi Lisensi Klub PSSI sendiri, karena sejatinya Federasi sebagai Lisensor tidak boleh gonta ganti mengakui Badan Hukum/PT yang berbeda untuk 1 Klub Anggota (dalam hal ini ialah: PS Arema Malang/Arema Indonesia/Arema FC).

Selain kasus Persebaya dan Arema sebenarnya ada sejumlah kasus lain terkait pelanggaran Regulasi Lisensi Klub untuk Kompetisi profesional yang telah ditetapkan FIFA-AFC dan juga PSSI sendiri. Yakni, jual-beli/perpindahantangan sebuah lisensi klub yang dalam regulasi FIFA Artikel 4.4.1.7 sangat diharamkan. Kasus ini melibatkan Bali United dan Pusamania Borneo FC. Dimana Bali United (PT. Bali Bintang Sejahtera) hanya melakukan praktek beli Lisensi (Izin Peserta Kompetisi) dari klub Putra Samarinda, ketimbang meng-akusisi kepemilikan dari Badan Hukum klub Putra Samarinda (dalam hal ini, PT. Putra Samarinda Indonesia). Sementara Klub Pusamania Borneo FC (dalam hal ini PT. Nahusam Pratama Indonesia) juga melakukan praktek jual beli lisensi dari klub Perseba Super, ketimbang mengakusisi Badan Hukum dari Klub Perseba Super.
Lisensi keduanya diperjualbelikan dan berubah nama perusahaannya.

Kasus lainnya melibatkan klub Pelita Bandung Raya. Klub ini bahkan hampir setiap tahun ganti nama. Semula Pelita Jaya dibawah kepemilikan Nirwan Dermawan Bakrie. Sempat bernama Pelita Mastrans (1997) dan Pelita Bakrie (1998-1999) terkait sponsorship. Pindah ke Solo berganti menjadi Pelita Solo (2000-2002). Hijrah ke Cilegon menjadi Pelita Krakatau Steel (2002-2006). Hengkang ke Purwakarta menjadi Pelita Jaya Purwakarta (2006-2007). Pada awal kompetisi dengan format ISL pada musim 2008/2009, Klub Pelita Jaya mendaftarkan Badan Hukum bernama PT. Nirwana Pelita Jaya ke PSSI dan PT. Liga sebagai syarat mendapat Lisensi Klub Profesional untuk menjadi peserta Kompetisi ISL, dimana selama mengarungi kompetisi ISL, sempat ber”merk” dengan nama Pelita Jawa Barat (2008/2009), lalu menjadi Pelita Jaya Karawang (2009-2010), dan balik lagi menjadi Pelita Jaya FC (2010-2011).

Pada awal memasuki musim 2011/2012, Pelita Jaya FC (baca: PT. Nirwana Pelita Jaya) klaim telah diakuisi oleh klub Divisi II, PS Bandung Raya dan berganti nama menjadi Pelita Bandung Raya (PBR). Ini terjadi setelah, katanya, Sdr. Ari D. Sutedi (selaku Direktur dari PT. Retower Asia yang di-klaim sebagai Pemilik, dengan Badan Hukum dari Klub Bandung Raya bernama Yayasan Bandung Raya), dan mengambil alih “hak pengelolaan” atau Lisensi atas klub Pelita Jaya FC dari PT. Nirwana Pelita Jaya. Lalu memutuskan mendirikan PT. Kreasi Performa Pasundan sebagai Badan Hukum dari klub Pelita Bandung Raya (nama/merk baru dari Klub Pelita Jaya FC), dan tidak meneruskan pengoperasian dari PT. Nirwana Pelita Jaya yang di-klaim telah diakusisi (sehingga hingga sekarang status Utang-Piutang atas PT. Nirwana Pelita Jaya thd ex-karyawan, pemain, pelatih serta ofisial tim belum jelas penyelesaiannya, dan apakah PT tersebut ber-status pailit atau tidak).
Kini, klub PBR (baca: PT. Kreasi Performa Pasundan) pindah ke Bekasi, karena klaim telah diakusisi oleh segelintir kelompok yang konon mewakili Klub Persipasi (perlu diperiksa status hukumnya, apakah yang meng-akusisi ialah Badan Hukum dari Klub Persipasi atau segelintir Individual yang kebetulan saat itu ditunjuk sebagai Pengurus klub Persipasi), dan klub PBR beroperasi dengan nama/merk yang sangat aneh, yaitu “Persipasi Bandung Raya” ketimbang “Pelita Bekasi Raya” karena klaim terjadinya peleburan/merger atas dua klub, yaitu Persipasi Bekasi yang main di kompetisi Divisi Utama dan Pelita Bandung Raya yang tampil di kompetisi ISL.

Efek dari gonta-ganti Badan Hukum/PT di klub sepakbola Indonesia yang berstatus “profesional” banyak meninggalkan masalah. Remunerasi pemain tak dibayarkan dengan tuntas sesuai kontrak antara Pemain dengan Badan Hukum Klub. Pemilik baru dari klub pun beralibi bahwa itu bukan tanggung jawab mereka, karena mereka hanya beli Lisesi, sehingga utang piutang terdahulu menjadi tanggung jawab dari owner PT terdahulu, tanpa ada implikasi hukum apakah PT yang sebelumnya terkena status Pailit atau tidak. Dan, tentunya, ini tidak benar. Kompetisi sepak bola Indonesia sebenarnya dapat menarik investor dan sudah bisa berlari kencang secara profesionalitas menuju industri hiburan olahraga yang diidamkan, bila aturan ditegakkan dengan benar sesuai regulasi. *(Vladimir Lianov & Alexander Rakmalsevich)

Komentar Pengunjung

Facebook Auto Publish Powered By : XYZScripts.com