Gas Air Mata Itu, Dua Tahun Lalu… (Sebuah Reportase dan Kenangan dari Tribun BB)

Pada 3 June 2014 13:53 WIB

oleh: Oryza Ardyansyah
 
Minggu, 3 Juni 2012. Sebenarnya hari itu saya tengah libur kerja. Saya datang dari Jember ke Surabaya karena ada keperluan di markas besar Beritajatim.com di Jalan Ciliwung, Senin esok harinya.

Kangen suasana di Stadion Tambaksari, saya memutuskan menonton Persebaya melawan Persija, dalam lanjutan laga Liga Primer ndonesia, Minggu sore itu. Sekalian hitung-hitung ingin mencari bahan untuk tulisan lepas di media saya. Saya membeli tiket ekonomi dan memilih duduk di tribun BB yang berada di sisi selatan tribun VIP.

Matahari tak terlalu terik. Ada sekitar 15 ribu Bonek memadati Stadion Gelora 10 Nopember. Saya sempat terhibur, saat ribuan Bonek di tribun timur berkreasi dengan koreografi tulisan raksasa: WANI. Setahu saya, selain suporter PSS Sleman, baru di Tambaksari ini ada koreografi tulisan seperti itu.

Peluit kick off berbunyi. Anak-anak Persebaya menguasai jalannya, namun bermain loyo. Salah satu Bonek heran dengan permainan loyo Persebaya di babak pertama. “Padahal gaji sudah lunas,” katanya.

Babak kedua, Persebaya masih menguasai jalannya pertandingan. Namun serangan anak-anak Bajul Ijo tak membuahkan hasil. Persija yang mengandalkan serangan balik, justru berhasil menyarangkan dua gol. Bonek yang duduk di tribun ekonomi sisi utara VIP melemparkan botol-botol ke arah para pemain Persija.

Persebaya tertinggal 0-2, pertandingan menjadi lebih menarik. Persebaya mengurung pertahanan Persija. Sebuah gol terjadi, namun dianulir oleh hakim garis. Hujan botol mengalir dari tribun BB ke arah hakim garis.

Tak lama kemudian sebuah serangan kilat dilancarkan Persebaya, dan Ferry Ariawan dijatuhkan pemain Persija di kotak penalti. Pemain Persija memprotes keras hukuman penalti tersebut. Dutra berhasil mengeksekusi penalti tersebut.

Selanjutnya pertandingan berjalan seru. Dua gol di babak injury time mengakhiri pertandingan dengan skor 3-3. Bonek sudah cukup puas dengan hasil tersebut. Persebaya terhindar dari kekalahan, dan saya bersiap pulang.

Namun pergerakan aparat kepolisian menarik perhatian saya. Mereka bergerak mendekati tribun selatan dan BB. Sejumlah suporter turun dari tribun untuk mencopot spanduk, dan entah apa alasannya, polisi menghadang mereka. Bonek di tribun selatan marah, saat melihat rekan mereka diperlakukan kasar oleh aparat. Botol-botol kembali beterbangan. Kali ini ke arah aparat.

Jika mengacu laga-laga terdahulu, saat aparat kepolisian dilempari dari arah tribun penonton, mereka akan mundur dan keluar dari jarak lempar. Selama ini, sebagaimana terjadi stadion mana pun di Indoensia, lemparan dari suporter akan dengan sendirinya reda.

Polisi hanya menanti di tengah lapangan, mengantisipasi jika saja ada Bonek yang mencoba berbuat rusuh dengan turun dari tribun menuju lapangan. Dan kemarin saya tidak melihat ribuan penonton berniat turun dari tribun menuju lapangan, kecuali beberapa orang yang hendak mengambil spanduk yang terbentang di pagar.

Langkah kedua, dalam kondisi ini, biasanya aparat kepolisian akhirnya membiarkan Bonek mencopot spanduk, dan meminta bantuan tokoh suporter untuk menenangkan penonton.

Langkah ketiga, kalau dirasa memang terlalu banyak Bonek di tepi lapangan, keluarkan saja beberapa anjing yang terkenal galak itu. Sependek pengetahuan saya, Bonek lebih takut dengan anjing daripada berkelahi dengan polisi.  

Saya sendiri melihat sejumlah Bonek sudah beringsut pulang dan cukup puas dengan skor 3-3. Namun kericuhan antara aparat dengan salah satu Bonek yang tengah mencopot spanduk membuat sejumlah penonton tudak terburu-buru keluar dari stadion dan memilih menontonnya.

Polisi memang sesaat mundur keluar dari area pelemparan. Namun mendadak mereka menembakkan gas air mata ke arah tribun selatan. Gas air mata ini membuat suporter semburat. Tak cukup itu. Gas air mata juga ditembakkan ke tribun BB tempat saya berdiri.

Saya tidak tahu apa yang menyebabkan polisi menembakkan gas air mata tersebut. Saya tidak tahu, apakah polisi tidak memperhitungkan bahwa untuk keluar stadion dari tribun hanya ada satu akses jalan, yakni semacam lorong berundak sepanjang kurang lebih 20 meter. Dengan jumlah suporter yang begitu banyak dan panik, dan hanya ada satu akses jalan keluar justru bahaya lebih besar tengah mengancam.

Begitu gas air mata menyebar, para penonton di tribun BB berlarian menuju lorong dan berebut keluar stadion. Kondisi lorong jalan keluar begitu gelap. Mata saya perih. Napas saya sesak. Sebagaimana ribuan suporter lain, saya cepat-cepat berlari menuju lorong jalan keluar.

Massa sudah tak terkendali. Saya sendiri berlari dengan mata setengah tertutup, karena perih. Penonton berjejal ingin segera keluar. Namun jalan keluar yang sempit membuat penonton bertabrakan, dan ada yang jatuh. Mereka terinjak sesama penonton. Teriakan dan jeritan terdengar di sepanjang lorong yang gelap.

Saya sempat terjatuh. Namun saya segera berdiri, dan berlari menyelamatkan diri dengan rasa ngeri. Saya tahu, di tribun BB tak hanya diisi oleh suporter lelaki, tapi juga perempuan dan anak-anak. Saat pertandingan berlangsung, saya sempat melihat seorang bapak berkaos hijau yang datang bersama anaknya yang saya taksir berusia 4-5 tahun. Sang anak membawa terompet dan membunyikannya sepanjang pertandingan. Saya tidak tahu nasib mereka begitu gas air mata ditembakkan.

Benak saya diisi oleh ketakutan: apa yang terjadi di Stadion Hillsborough, Inggris, 15 April 1989 akan terjadi di Tambaksari. Saat itu, 96 suporter Liverpool tewas karena terinjak dan terjepit, kehabisan oksigen.

Saya akhirnya berhasil keluar dari stadion dengan mata perih dan dada sesak. Saya melihat sejumlah penonton tergeletak di jalan, terutama perempuan. Beberapa warga membantu mereka, memberikan air minum dan mengguyurkan air ke mata yang perih.

Sejumlah suporter menyelamatkan diri ke masjid Al Azhar di Jalan Srikaya. Mereka berebut mengguyur mata dengan air kran. Sejumlah penonton perempuan tergeletak di teras masjid. Warga sekitar memberikan bantuan dengan membuatkan air teh.

Warung Tetap Buka
Saya sempat membantu beberapa suporter yang tergeletak di teras masjid. Saya sudah berpikiran buruk: peristiwa amuk suporter 4 September 2006 akan terulang. Saat itu, Bonek juga bentrok dengan aparat kepolisian dan sejumlah kendaraan dibakar. Kerusuhan meluas.

Namun apa yang terjadi tak seburuk apa yang saya bayangkan. Bentrokan antara Bonek dengan polisi memang terjadi di depan stadion. Satu mobil polisi dihancurkan massa yang marah.

Dan ini yang mengejutkan saya: warung-warung tetap buka. Mereka tetap berjualan, seolah-olah tidak ada apa-apa. Tidak ada penjarahan yang biasanya mengiringi kerusuhan suporter. Arus lalu lintas di depan Stadion Tambaksari pun lancar.

Saya mampir ke salah satu warung untuk minum teh. Saya sempat bertanya kepada perempuan pemilik warung itu: apakah tidak takut terkena imbas kerusuhan. Sembari membuatkan teh hangat buat saya, si ibu menjelaskan, bentrokan antara polisi dengan suporter, dan bukan dengan pedagang atau warga.

Risma di Rumah Sakit
Saya bersama sejumlah wartawan lantas bergerak menuju Rumah Sakit dr. Soetomo, karena mendengar ada salah satu suporter Bonek meninggal dunia. Belakangan saya tahu nama Bonek itu adalah Purwo Adi Utomo. Usianya masih belasan tahun.

Beberapa saat setelah saya datang, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini tiba. Ia ditemani Kepala Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya Kombes Tri Maryanto. Risma hadir tanpa banyak pengawalan protokoler. Ia menyapa keluarga Purwo, dan berbicara dengan nada lirih, menyampaikan duka cita. Alumnus Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya itu juga berbicara banyak dengan sejumlah Bonek yang hadir di sana.

Saya sendiri sempat ngobrol dengan beberapa jurnalis dan perwakilan Bonek.Mereka menceritakan pendekatan keamanan yang dilakukan Kepolisian Resor Kota Surabaya di bawah kepemimpinan Coki Manurung dulu. Saat itu, Manurung banyak mengambil langkah preventif daripada represif. Sebelum pertandingan dimulai, ia tidak segan-segan berkeliling lapangan menyapa penonton di tribun dan meminta mereka untuk tertib.

Manurung juga mendekati sejumlah pentolan Bonek, dan tak segan-segan mengikuti kegiatan positif para suporter. Saat Bonek membagikan takjil di bulan Ramadan, ia juga hadir.

Hubungan baik antara Manurung dengan Bonek ini membuat aparat kepolisian lebih mudah melakukan pengamanan. “Memang harus lebih sabar dalam menghadapi Bonek,” demikian kira-kira pesan Blackberry dari Manurung yang ditunjukkan salah wartawan kepada saya.

Model pendekatan Manurung itu cukup berhasil. Di bawah kepemimpinannya, Bonek relatif tidak berulah. Pertandingan berjalan lancar. Tidak ada kerusuhan, walau Persebaya beberapa kali mengalami kekalahan di kandang.

Model pendekatan ini memang perlu dilakukan. Polisi memang memiliki otoritas untuk melakukan represi. Namun, petugas kepolisian juga harus tahu kapan menggunakan model represi itu dengan tepat.

Apa yang terjadi Minggu sore itu di Tambaksari sebenarnya jauh dari skala kerusuhan besar sebagaimana peristiwa 4 September 2006. Tahun 2006, ratusan suporter turun berlari ke tengah lapangan dan merusak sejumlah fasilitas stadion. Namun, Minggu sore itu berbeda. suporter berangsur-angsur meninggalkan stadion. Di sejumlah tribun penonton tak ada kerusuhan. Hanya di tribun selatan dan BB kericuhan terjadi, yang dipicu perlakuan kasar terhadap Bonek yang tengah mencopot spanduk.

Jika dibandingkan Persebaya tempo doeloe, jumlah perempuan yang datang menyaksikan langsung di stadion meningkat pesat. Begitu juga jumlah anak-anak. Salah satu kawan saya menonton ke stadion bersama anak dan istrinya.

Belum ada statistik resmi memang. Tapi saya sangat mudah berpapasan dengan gadis-gadis remaja maupun yang memasuki usia 20 tahunan yang memakai atribut hijau Persebaya. Bahkan, kemarin saya bertemu dengan seorang lelaki bule yang mengenakan syal Persebaya bersama dan pasangannya. Ini sebenarnya mengindikasikan, bahwa mulai ada kepercayaan: tak perlu khawatir menonton pertandingan sepakbola di Tambaksari.

Ini seharusnya juga dijadikan pertimbangan aparat kepolisian sebelum melakukan tindakan represif yang berpotensi salah sasaran, dan menimbulkan korban lebih besar.

Dalam sejarah persepakbolaan Surabaya, belum pernah ada suporter yang meninggal dunia akibat kerusuhan di Tambaksari. Selama ini, Bonek meninggal dunia karena kecelakaan atau bentrokan dengan suporter lain di luar stadion. Jadi saya kira apa yang terjadi Minggu sore setahun silam adalah preseden buruk.

Hari ini, tak ada lagi pertandingan sepak bola di Gelora 10 Nopember. Pemkot Surabaya melarang penggunaan stadion legendaris itu untuk pertandingan sepak bola hingga waktu tak terbatas. Kini hanya senyap yang tersisa di sana. Namun Tribun BB, tempat gas air mata ditembakkan, kini berubah menjadi tempat sakral bagi para Bonek untuk mengenang kawan mereka yang meninggal.

Lorong tribun itu kini dinamakan Purwo Gate, meminjam nama Purwo Adi Utomo, suporter Persebaya (1927) yang meninggal dunia itu. Kurang tepat benar sebenarnya penamaan nama ‘gate’ di sana. Namun, tepat atau tidak, hanya itu yang bisa dilakukan untuk menghormati Purwo. []

Komentar Pengunjung

Facebook Auto Publish Powered By : XYZScripts.com