BALADA IWAN BUDIANTO
fdsinews.com, Jakarta – 10 Februari 2017. Selain soal rangkap jabatan, PSSI juga harus hati-hati dalam mengambil kebijakan. Jangan sampai menabrak aturan. Baik itu, Statuta FIFA, AFC, maupun Statuta PSSI sendiri. Pasal 9 Statuta PSSI, menegaskan “Badan dan Ofisial PSSI harus menaati Statuta, peraturan-peraturan, instruksi-instruksi, keputusan-keputusan dan Kode Etik FIFA, AFC dan PSSI dalam kegiatannya.” Melanggar aturan, bisa berujung sanksi FIFA.
Kebijakan PSSI mengganti posisi Iwan Budianto dari Wakil Ketua Umum PSSI menjadi Kepala Staf Ketua Umum, misalnya. Ini jelas-jelas melanggar Statuta PSSI Pasal 34 tentang Komposisi Komite Eksekutif. Dalam pasal 1 dijelaskan“Komite Eksekutif terdiri dari 15 anggota:1 (satu) Ketua Umum; 2 (dua) Wakil Ketua Umum; 12 (dua belas) anggota.”
Posisi Iwan Budianto tidak bisa serta merta diganti menjadi Kepala Staf Ketua Umum karena saat di Kongres statusnya dipilih sebagai Wakil Ketua Umum. Iwan bisa berganti posisi menjadi Kepala Staf Ketua Umum hanya dengan alasan tertentu: misalnya, mengundurkan diri, dipecat, sakit tetap, atau meninggal dunia.
“Artinya, Iwan harus mundur dulu sebagai Wakil Ketua Umum PSSI bila beralih tugas sebagai Kepala Staf Ketua Umum yang dalam Statuta PSSI pasal 34 tidak ada ketentuannya terkait posisi tersebut,” kata Akmal. “Bila dipaksakan menjadi Kepala Staf Ketua Umum tanpa melepas posisi Wakil Ketua Umum yang dipilih saat Kongres ini jelas melanggar Statuta,” Akmal menambahkan.
Belakangan, pria kelahiran Malang, 24 Januari 1974 ini menjadi buah bibir. Bahkan, ceritanya bisa dibilang seperti sebuah balada. Selain digeser dari posisi sebagai Wakil Ketua Umum menjadi Kepala Staf Ketua Umum, mantan manajer Persik Kediri itu juga sempat disebut akan menjabat sebagai CEO PT Liga Indonesia Baru. Untungnya, pernyataan itu langsung diralat PSSI sendiri. IB, begitu biasa disapa, bukan dirancang sebagai CEO PT Liga Indonesia Baru, tapi hanya sebagai Ketua Panitia Piala Presiden. Belakangan, Iwan baru saja ditunjuk sebagai Ketua Komite Adhoc Reformasi Sistem dan Tata Kelola Keanggotaan lewat SK yang ditandatangani Ketua Umum Edy Rahmayadi, 29 Januari 2017. Iwan didampingi Johar Ling Eng sebagai Wakil Ketua di Komite Adhoc tersebut dengan anggota Gusti Randa, Dick Soplanit, Yunus Nusi, Muhazam, Herdiyat, Vicky Gandae, Budiman Dalumente, dan Sita Saraswati.
“Entah apa yang sedang dirancang Ketua Umum PSSI dan Komite Eksekutif dengan menggonta-ganti posisi Iwan. Ini semua harus diperjelas agar tak ada kerancuan yang berujung pelanggaran Statuta PSSI,” Akmal mengungkapkan.
Yang menarik lagi adalah pernyataan Ketum PSSI, Edy Rahmayadi, saat ikrar wasit Piala Presiden 2017. Iwan sebagai Ketua Panitia disindir terkait suap wasit dan kemudian dijawab dengan pernyataan Insya Allah tak akan melakukan lagi. Sindiran yang menjadi viral karena publik sepak bola Indonesia sangat tahu bagaimana suap wasit, match fixingserta permainan bandar judi telah merusak sendi-sendi sepak bola nasional. Meskipun pernyataan itu kemudian diralat Edy dan Iwan, tapi ini bisa menjadi pintu masuk untuk memerangi suap, judi, dan match fixing di sepak bola Indonesia.
“Sejatinya itu bukan sindiran, tapi fakta di lapangan yang Ketua Umum PSSI sebenarnya sudah tahu penyakit ‘kanker’ tersebut. Soal pemberantasan suap, match fixing, dan judi bola bukan lagi rahasia umum. PSSI saat ini harus berkomitmen untuk memeranginya sebagai bagian utama dari reformasi tata kelola sepak bola Indonesia dan juga menjalankan visi misi PSSI Profesional dan Bermartabat,” Akmal mengungkapkan. “Pintunya sudah dibuka lewat sebuah sindiran. Tinggal bagaimana PSSI fokus menanganinya. Masyarakat menunggu PSSI mengungkap kasus-kasus yang merusak hakikat fair play dan sportivitas sepak bola tersebut,” Akmal menambahkan.***