BOPI Yakin Presiden Tak Akan Restui Sebuah Kompetisi Tanpa Penegakkan Aturan
fdsinews.com, Jakarta, 15 April 2016 – Pertemuan antara PT Gelora Trisula Semesta (GTS) selaku operator Indonesia Soccer Championship (ISC) dengan Tim Transisi Tata Kelola Sepak Bola Indonesia dan Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) yang digagas Kantor Kementerian Pemuda Olahraga (Kemenpora) Republik Indonesia, Jumat (15/4) berlangsung alot.
Maklum, banyak hal yang masih tanda tanya besar. Mulai dari legal standing berdirinya ISC serta ditunjuknya GTS sebagai operator, standar kriteria dalam club licensing system yang digunakan GTS sebagai syarat menetapkan klub yang layak dan berkualifikasi sebagai Peserta ISC A, soal standar kontrak pemain lokal maupun asing (apakah sesuai UU Ketenagakerjaan dan Regulasi FIFA terkait Status dan Transfer Pemain), sampai kepada pendanaan. PT GTS menyebut bahwa legal standing ISC berdasarkan Rapat Umum Pemegang Saham PT Liga Indonesia pada tanggal 24 Oktober 2015 dan Risalah Pertemuan Klub ISL pada 16 Januari 2016. Itu artinya, PT GTS lahir dari sebuah kegiatan resmi PT Liga Indonesia, yang notabene pengelola kompetisi PSSI yang sedang dibekukan pemerintah. Bukan lahir dari forum independen yang selama ini digembar-gemborkan.
PT GTS juga belum dapat menjelaskan dengan spesifik apakah para calon klub peserta ISC telah memenuhi standar kriteria seperti yang ditetapkan Acuan FIFA dalam Regulasi Lisensi Klub dan turunannya (termasuk AFC dan PSSI Club Licensing Regulation), untuk dasar kelayakan klub peserta kompetisi profesional yang merupakan salah satu pilar reformasi tata kelola kompetisi sepak bola Indonesia. Atau apakah GTS mempunyai standar kriteria dan level penerimaan tersendiri dalam ISC Club Licensing System. Artinya, GTS sebagai operator bertindak juga sebagai lisensor, yang notabene aslinya merupakan peran dari federasi/asosiasi nasional dari para klub tersebut.
Tambah sumir lagi ketika dipaparkan tentang status hukum dari klub peserta ISC A dan B dimana PT GTS memakai standar ganda, yang terdapat Klub Anggota PSSI, namun ada juga klub Non Anggota PSSI seperti Surabaya United dan Arema Cronus, dan juga yang mengakui/mensahkan atas transaksi pemindahan/pembelian lisensi (izin peserta kompetisi) seperti yang terjadi pada kasus Persiram-PS TNI dan kasus Pelita Bekasi Raya-Madura United (yang diklaim dibeli oleh Madura United, tapi, pihak MU malah membuat Badan Hukum PT baru, ketimbang melakukan akusisi/pembelian atas saham mayoritas terhadap badan hukum PT existing dari klub tersebut dan meneruskan operasional klub melalui badan hukum klub tersebut yang telah existing). Tak ada aturan baku dari FIFA yang digunakan sebagai Ground Rules untuk pergantian/jual-beli klub. Padahal, dalam pertemuan dengan Tim Transisi dan BOPI, GTS menyebut peserta ISC adalah klub PSSI yang berinduk ke FIFA/AFC.
Yang unik lagi, GTS yang menyatakan sebagai operator dan Lisensor, bertindak juga sebagai Regulator/Federasi. Bahkan, juga bertindak sebagai Badan Peradilan (Komisi Disiplin dan Komisi Banding) serta Pengelola dari Kamar Resolusi Sengketa (Dispute Resolution Chamber), yang kelak akan diperlukan jika di tengah berjalannya kompetisi muncul perselisihan/permasalahan antara pemain/pelatih dengan klub; ketimbang bernaung dan diselesaikan di BAKI (Badan Arbitrase Keolahragaan Indonesia) yang telah dibentuk Pemerintah terkait pelanggaran hukum olahraga di Indonesia. GTS tidak bisa dibenarkan menjadi lembaga Super Body. Bila Liga itu ibarat Industri Sepakbola, maka GTS tidak bisa berperan menjadi Operator, Regulator serta Pengawas dan Law Enforcer-nya, karena tidak tercipta situasi Check and Balance.
Atas dasar fakta-fakta ini BOPI menilai banyak hal yang masih harus dibenahi untuk mencapai standar yang diinginkan dalam proses reformasi tata kelola sepak bola Indonesia.
“BOPI tidak akan serta merta mengeluarkan rekomendasi selama GTS belum mendapatkan restu dari Tim Transisi Sepak Bola Indonesia selaku acting PSSI saat ini dan belum menghormati etika hukum olahraga, khususnya sepakbola. BOPI juga tidak akan meloloskan klub yang tak memenuhi kriteria pada regulasi lisensi klub profesional sesuai standar FIFA/AFC. Aturan harus ditegakkan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan dari proses reformasi sepak bola Indonesia,” kata Noor Amman, Ketua BOPI. “Sudah waktunya semua harus berjalan sesuai hukum yang berlaku. Baik hukum sepak bola (FIFA/AFC) maupun hukum negara. Kita sudah mengorbankan diri disanksi FIFA hampir satu tahun, jadi naif kalau semua mundur lagi ke belakang.”
Meski belum mencapai kata sepakat, PT GTS sangat yakin mampu menggelar kick-off ISC pada 29 April 2016 di Stadion Mandala, Jayapura. Hal itu, katanya, berdasarkan pertemuan klub-klub dan asosiasi provinsi PSSI dengan Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo, yang berlangsung di Istana Negara pada sore harinya. Secara tersirat, Jokowi memang menyatakan bahwa kompetisi harus segera digelar dan siap membuka ISC pada 29 April 2016. Tapi, semuanya harus berdasarkan aturan. Jokowi sendiri samangat menginginkan kompetisi sepak bola Indonesia menjadi pilar “Reformasi Total” dan “Revolusi Mental”.
Presiden memberikan arahan agar kondisi persepakbolaan nasional harus ada perubahan tata kelola yang signifikan. Tidak hanya prestasi, tapi juga kepercayaan berbagai kalangan (investor, stakeholder, dan publik). Tanpa ada perubahan yang mendasar, sulit bagi Indonesia untuk mendapatkan kondisi sepak bola yang lebih baik karena berbagai persoalan yang akan tetap muncul ke permukaan. Seperti pengemplangan pajak klub profesional, menghindari tanggungan penunggakan gaji dengan gonta ganti Badan Hukum Klub, jual-beli/pindah-tangan lisensi kompetisi oleh klub yang jelas-jelas pelanggaran regulasi FIFA sampai pengaturan pertandingan (match fixing).
“BOPI tidak percaya Presiden Jokowi akan memberikan restu terhadap sebuah kompetisi yang tidak mengikuti aturan main yang berlaku,” Noor Amman. “Terlalu mahal dan besar risikonya bila semua dilepas begitu saja tanpa mengindahkan visi misi reformasi tata kelola sepak bola Indonesia,” ujar Noor Amman.
Sekjen BOPI, Heru Nugroho, menegaskan bahwa Presiden Jokowi memahami betul arti pentingnya reformasi tata kelola sepak bola Indonesia. Maklum, Presiden punya harapan besar sepak bola Indonesia kedepannya memiliki nilai jual yang tinggi dan berprestasi. Atas dasar itulah semua harus dijalankan dengan menghormati regulasi yang berlaku. Tak boleh lagi menggunakan cara “tabrak lari” yang selama ini sering terjadi.
“Kami akan tetap berusaha konsisten menentukan standar kompetisi sesuai dengan azas-azas profesionalisme yang menjadi tugas dan wewenang BOPI untuk menegakkannya,” Heru Nugroho. “Artinya, ISC harus berjalan melalui proses verifikasi yang seharusnya, jika memang akan dijadikan percontohan kompetisi sepak bola profesional di masa yang akan datang. Yang tak lolos verifikasi sesuai standar klub profesional seperti yang diharapkan FIFA/AFC harus siap tidak ambil bagian,” Heru menegaskan.