“Ancaman” dari Liga Malaysia dan Fenomena Johor
(ilustrasi: meriahnya suporter di Liga Super Malaysia, foto:istimewa/flickr)
Oleh : Arief Tumbin
Bagi sebagian orang, mungkin mereka berpikir bahwa Liga Super Malaysia tidak ada apa apanya jika dibandingkan dengan Liga Super Indonesia.
Mulai dari kualitas permainan, kualitas personal pemain, hingga fanatisme suporter. Liga Super Malaysia tidak akan mampu menyaingi Liga Indonesia. Tapi benarkah demikian?
Gerbong Revolusi Klub Sepakbola di Malaysia mungkin memuncak ketika Tunku Mahkota Johor (semacam pangeran kesultanan johor) mengambil alih Kepengurusan Klub dari negeri mereka, yaitu Johor Darul Ta’zim atau dulu dikenal Johor FA.
Pangeran yang sangat gila bola ini, kemudian sedikit demi sedikit menggunakan kekuatan finansialnya untuk memoles klub Johor Darut Ta’zim ini. Hal itu dimulai ketika Johor Darul Ta’zim merekrut penyerang andalan Spanyol di Euro 2008 Daniel Guiza, mantan penyerang Villareal Luciano Figeroa, hingga yang terheboh adalah perekrutan Pablo Aimar pada tahun 2013 lalu, serta memborong pemain – pemain Timnas Malaysia seperti Safee Sali, Safiq Rahim, dkk.
Sejauh pengamatan saya, klub ini pengelolaanya layaknya klub-klub Eropa dengan fasilitas latihan mewah, serta gaji yang tinggi. Tidak heran jika Nike kemudian mau masuk dan menjadi sponsor aparrel di klub ini, satu hal yang belum kita lihat di Liga Indonesia.
Dari sisi suporter, klub yang siasa disingkat JDT ini pun memiliki basis suporter terbesar di Malaysia. Kira – kira sekitar 25000 hingga 30000 penonton selalu hadir dalam pertandingan kandang JDT di Stadion Larkin, Johor Bahru. Bahkan di Laga Ujicoba Sekalipun.
Jika kita bandingkan dengan di Liga kita yang penonton hanya akan penuh jika ada Laga ‘Big Match’ saja. Jika bukan Laga ‘Big Match’ , kita bisa melihat banyak kursi kosong di Stadion.
Beberapa basis suporter lainnya terdapat seperti di Selangor, Pahang, Kelantan, dan Terengganu.