Alasan Abadi Kegagalan Timnas Indonesia

Pada 27 September 2014 04:12 WIB

FDSInews – “Kurang persiapan”, “Postur lawan lebih tinggi”, “Beda kelas”, ” Faktor Cuaca”, “Pemain kelelahan” , “Jadwal kompetisi yg padat”

Itulah sejumlah alasan dan pembenaran, ketika timnas sepakbola Indonesia gagal di berbagai ajang , publik sudah lelah bahkan muak dengan  alasan klasik tersebut yang akan dipakai PSSI atau tim pelatih dalam menyikapi kegagalan demi kegagalan timnas sepakbola Indonesia, dengan berulang-ulang tanpa rasa malu alasan itu dipakai sejak PSSI berdiri hingga kini namun tanpa ada perbaikan bahkan kemajuan sama sekali, jika sudah tahu kurang persiapan kenapa pula tidak dilakukan pelatnas jangka panjang? Jika karena faktor cuaca kenapa datang mepet, tanpa adaptasi dulu? Jika memang kompetisi padat, kenapa sih tidak membuat jadwal kompetisi yang memperhatikan agenda timnas, kenapa itu semua tidak dilakukan???

Selain itu, ada beberapa alasan PSSI yang mengelitik nalar berpikir kita, bagaimana mungkin mereka menyalahkan postur tubuh pemain timnas? Mereka lupa Lionel Messi atau tim-tim dari Amerika Latin berprestasi walau postur tubuh tidak terlalu tinggi. Sudah tahu berpostur pendek kok malah bermain dengan umpan-umpan panjang dan taktik bola atas yang sudah pasti bisa diantisipasi pemain lawan.

Jika timnas lain mengalami peningkatan pesat dan sudah berbicara di kelas Asia,  kita masih saja sulit berbicara sekedar di kelas ASEAN. Tengoklah Thailand yang terakhir bisa membantai Tiongkok, beberapa kali lolos ke semifinal Asian Games bahkan pemain Thailand bernama  Teerasil Dangda kini bermain di klub La LigaSpanyol, UD Almeria. Pemain kita tembus tim inti liga Malaysia saja sulit. Lihatlah Andik, Patrick Wangai, Hamka Hamzah yang tidak cemerlang dengan klub-klub di liga Malaysia atau tengok juga tuh Irfan Bachdim yang menjadi cadangan abadi diklub kasta kedua di liga jepang: Ventforet Kofu. Lirik juga malaysia U-16 yang hampir lolos ke FIFA U-17 World Cup sebelum kalah tipis dari Australia 1-2, sedangkan kita jangankan bicara level Asia bahkan berbicara tingkat ASEAN pun sudah tidak dianggap oleh lawan.

Beberapa cara memang sudah dilakukan PSSI untuk memperbaiki hal ini, di antaranya adalah strategi instan: NATURALISASI pemain asing atau pemain keturunan indonesia yang bermain di luar negeri, namun konyolnya pemain yang dinaturalisasi tidak lebih baik dari pemain lokal bahkan banyak yang lebih buruk , sebut saja Jhonny van Beukering yang memiliki berat badan sebesar hampir 100 Kilogram, dia lebih cocok sebagai petinju kelas berat dibandingkan menjadi atlet sepakbola profesional. ini betul-betul tidak masuk akal. Ditambah dengan sebagian besar pemain yang bermain di liga abal-abal kasta keempat liga Belanda, bahkan ada juga yang bermain di liga amatir, ini menunjukan PSSI tidak punya visi dalam membentuk timnas yang kuat.

Contohlah timnas Singapura yang menaturalisasi beberapa pemain yang mempunyai skill/kelas di atas pemain lokal mereka bahkan di atas semua pemain di Asia Tenggara seperti Agu casmir, Daniel Bennett (Inggris), Aleksandar Duric (Bosnia) atau Shi Jiayi dan Qiu Li asal Tiongkok. Hasilnya, Singapura menjuarai piala AFF sebanyak 3 kali (2004, 2007 dan 2012), atau lirik juga Filipina yang biasanya menjadi lumbung gol tim-tim Asia tenggara lain sekarang menjelma menjadi kekuatan baru di Asean.

Indonesia malah jalan di tempat, bahkan mundur kebelakang diperparah konflik politik yang sempat melanda tubuh PSSI dengan mengorbankan timnas seperti piala AFF tahun lalu dimana timnas ala IPL tersingkir di babak penyisihan.

Apakah Timnas ala ISL juga berprestasi, tidak juga!!!

Sejak piala AFF digulirkan timnas kita tidak pernah juara, tahun 2010 timnas memang sempat “hampir” merajai piala AFF namun apa yang terjadi sungguhlah ironis, indonesia gagal di partai puncak. ANTI KLIMAKS.

Di tahun tersebut, media dan publik memuja-muji habis permainan timnas, lalu pemain terlena seolah sudah juara sebelum waktunya, dan gagal total di partai final. Publik juga terlalu sering obral pujian, kalah tipis dari tim yang dianggap lebih kuat seolah-olah sudah menang, sehingga pemain cepat puas dan gak berkembang.

Ketika tulisan ini dibuat, timnas Asian Games 2014 baru saja tersingkir dibantai korea utara 1-4. Padahal di awal-awal turnamen ini timnas dipuji habis-habisan oleh publik indonesia baik fans maupun media, namun kalau boleh jujur itu lebih kepada kualitas lawan dibandingkan kehebatan timnas kita, melawan Timor Leste yang baru saja merdeka ibarat timnas melawan tim pra pon atau tim lokal, jadi wajarlah menang, juga lawan maladewa yang kelasnya sama-sama tim level bawah di Asia.

Kualitas timnas baru diperlihatkan belangnya ketika dibantai tim Thailand 0-6 dan ditutup dengan kekalahan 1-4 dari Korea Utara. Di turnamen ini kita lihat negara-negara Asean lain memperlihatkan kemajuan pesat, sebut saja Vietnam yang justru membantai salah satu tim raksaksa asia Iran dengan skor 4-1, atau tengok tuh Thailand yang mengalahkan tim kuat Asia lain seperti Tiongkok dengan skor 2-0, ini menunjukan tim lain maju pesat, kita malah jalan ditempat, gak ada progress. Tim lain sudah memikirkan bersaing di tingkat Asia bahkan dunia, kita malah bersaing di level regional Asean saja belum mampu.

Ditulis oleh: Prof. Lincolin Arsyad

*tulisan ini juga dimuat di kompasiana dengan judul yang sama

Komentar Pengunjung

Facebook Auto Publish Powered By : XYZScripts.com