KAMI BUKAN LPI JILID 2

Pada 3 December 2014 09:06 WIB

GALANESIA (Liga Sepakbola Nasional Indonesia) bukanlah arwah LPI yang bangkit kembali menuntut balas. Kami memiliki perbedaan yang sangat mendasar dengan konsepnya LPI.

Konon kabarnya dulu LPI lahir akibat SBY sakit hati dengar ocehan Nurdin Halid bahwa prestasi timnas adalah andil Golkar. Kemudian SBY meminta tolong kepada AP untuk menjungkalkan NH. Bahkan merestui Menpora untuk melakukan intervensi ke tubuh PSSI. Tentu saja ada konsesi-konsesi yang dijanjikan SBY kepada AP. Tapi ternyata Golkar melakukan perlawanan dan menyerang titik lemah Demokrat, yaitu kasus Century. Akibatnya SBY melepas kawalannya terhadap AP (baca; LPI) dan sejarah mencatat rezim LPI di PSSI tak mampu bertahan lama. Para voters dibawah komando LNM mampu membuat LPI meregang nyawa.

LPI lahir dari atas kebawah (top down). Gerbong yang masuk rangkaiannya terdiri atas para reformis idealis sekaligus para oportunis sebagai penumpang gelapnya. Lagipula LPI masuk dengan mengusung momentum isue ‘mafia skor’ di final AFF 2010 yang kurang begitu laku dijual ke fans ISL yang justru menganggap bahwa Alfred Riedl adalah pelatih berprestasi.

Grand skenario LPI dibuat oleh petingginya, dibiayai oleh promotornya, dan diimplementasikan di lapangan oleh gerbong profesionalnya. TOP DOWN alias dari atas kebawah.

Sementara grand design Galanesia disusun oleh komunitas pecinta sepakbola nasional dan kelompok suporter peduli prestasi secara BOTTOM UP. Membuat konsep kompetisi yang bagus untuk dipresentasikan kepada pemerintah, meminta restu, baru kemudian dicarikan penyandang dananya.

Sejauh ini sudah ada investor besar pecinta timnas yang sedang wait and see terhadap Galanesia, dan sedang melihat kemana arah angin akan bertiup saja. *) belum bisa dipublikasikan

LPI pesertanya adalah gabungan antara klub pindahan dari ISL ditambah dengan klub klub bentukan baru yang diprakarsai oleh konsorsium. Pemainnya juga kategori senior yang dikombinasikan dengan pemain asing.

Sementara Galanesia akan berfokus memutar kompetisi U21 dalam kemasan profesional, dengan regulasi khusus tentang pemakaian 2 atau 3 pemain asing guna mendongkrak mutu kompetisi dan menarik animo penonton. Fokus kami adalah pembinaan pemain muda. Differensiasi kami adalah memperlakukan sepakbola sebagai komoditas entertainment.

Jika ISL tak banyak memberi kesempatan kepada para pemain muda untuk berkembang menambah jam terbang, maka Galanesia adalah panggung alternatif yang akan mematangkan bakat-bakat besar untuk matang dalam kompetisi yang ‘bersih’ yang tidak meracuni mental mereka.

Benar bahwa ISL juga memutar kompetisi U21, tapi gebyar publisitas serta kemasannya kurang bergaung ditengah masyarakat. Bahkan publik belum tentu tahu siapa juaranya.

Galanesia hadir bukan sebagai kompetitor atau penggantinya (substitusi) kompetisi resmi dibawah PSSI, melainkan memposisikan diri sebagai komplemen (pelengkapnya). Jika negeri ini punya 1000 pesepakbola talenta muda, mungkin 800 pemain akan diasuh oleh PSSI, dan 200 pemain lainnya akan kami asuh didalam wadah Galanesia. Daripada bakat-bakat muda itu layu sebelum berkembang, biarkan Galanesia mematangkannya.

Mungkin anda bertanya, jika memang misinya sama-sama berjuang untuk sepakbola nasional Indonesia, kenapa Galanesia tidak bersinergi dengan PSSI, misal dengan mengambil alih kompetisi ISL U21? Tentu saja tidak! Karena platform kami berbeda. Kemasannya berbeda, klub pesertanya berbeda, pemainnya juga berbeda (ada selipan pemain asing).

Galanesia tidak ingin berada dibawah kontrol PSSI, karena tidak ingin dipersulit oleh oportunis-oportunis yang duduk disana. Tidak ingin memakai wasit-wasit PSSI yang diragukan integritasnya. Dan juga tidak ingin terkontaminasi dengan budaya klub-klub yang terkadang berlaku unfairplay dan mencederai sportivitas.

Kami ingin membangun budaya baru serta mentalitas yang baru dalam kompetisi sepakbola profesional, dengan mengambil segmentasi pemain usia muda yang akan menjadi andalan bangsa dan negara ini kedepannya.

Galanesia sengaja memilih kompetisi U21 supaya pemain-pemain yang berkompetisi disini tidak tersandera haknya menjadi pemain timnas yang bisa membela bangsa dan negara. Begitu mereka sudah memasuki usia matang, dengan sendirinya mereka akan dilepas ke klub-klub yang berminat yang akan membawanya ke kompetisi resmi dibawah PSSI.

Bahkan jika PSSI bersedia menganggap Galanesia sebagai mitra mematangkan pemain muda di Republik ini, tak sulit membuat aturan dan ketentuan untuk pemakaian pemain Galanesia ke timnas. Semua hanya soal goodwillsaja dari rezim di PSSI. Mau dibuat rumit jadi rumit, mau dibuat simpel juga simpel.

Klub pesertanya juga klub baru yang 100% swasta dengan badan hukum berbentuk PT milik investor klub masing-masing. Diutamakan mengambil homebase di kota yang potensi daya beli suporternya besar, memiliki stadion yang layak dan sedapat mungkin (bukan wajib) tidak 1 kota dengan klub peserta kompetisi ISL. Kami ingin sepakbola lebih menyebar secara merata di republik ini.

Kami tidak ingin bersaing merebut pangsa pasar suporter yang sudah ada, tapi memilih membangun market baru di kota-kota yang potensial, misal; Lampung, Menado, Bojonegoro, Madura, Sorong, dll. Bisa juga ke kota yang sudah menjadi homebase klub ISL, tapi suporternya resisten dengan klub di kota tersebut, misal kota Surabaya.

Apa mungkin sebuah kompetisi profesional bisa digelar tanpa afiliasi ke FIFA AFC dan PSSI. Mungkin saja. Karena ada Permenpora no 0443 tgl 27 Agustus 2014 perihal Pengembangan Industri Olahraga Nasional yang membuka ruang seluas-luasnya bagi pihak swasta untuk terlibat dalam industri olahraga nasional, termasuk cabang olahraga sepakbola, dengan memutar kompetisinya sendiri dibawah naungan BOPI.

Demikian sekilas informasi mengenai GALANESIA, yang mungkin perlu diketahui oleh publik. Info lainnya akan segera dipublish pada saatnya nanti.

Komentar Pengunjung

Facebook Auto Publish Powered By : XYZScripts.com